TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Feodalisme Disebut jadi Biang Kekacauan di Indonesia, Prof Jimly Asshiddiqie: Perlu Amandemen UUD 1945

Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie (kanan) dan Rektor Unisri Surakarta Prof Sutoyo

WARTAJOGLO, Solo - Riuh politik yang berkepanjangan, sengketa seputar legalitas ijazah calon pemimpin, hingga polarisasi di akar rumput, menjadi cermin nyata bahwa demokrasi Indonesia masih jauh dari kata matang

Terkait hal ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa persoalan terbesar bukan sekadar ketegangan pasca pemilu, tapi warisan budaya politik feodal yang masih sangat kental di masyarakat.

"Sebenarnya pokok permasalahan dari kacaunya tatanan yang ada di masyarakat kita adalah karena sistem feodal yang masih begitu kuat. Sehingga para presiden yang memimpin selalu diposisikan sebagai raja," ungkap Jimly dalam sebuah acara makan malam bersama Rektor Universitas Slamet Riyadi Surakarta, di Soga Eatery, Selasa, 27 Mei 2025.

Dalam sistem feodal yang tak kunjung ditinggalkan, para pemimpin cenderung diperlakukan bak raja. 

Lingkaran terdekatnya pun terjebak dalam pola pikir "Asal Bapak Senang" (ABS), yang lebih mementingkan kenyamanan atasan ketimbang kepentingan publik. 

Akibatnya, kritik dibungkam, pengawasan dilemahkan, dan penyimpangan kian sulit dikoreksi. 

Kultur politik semacam ini, menurut Jimly, membuat masyarakat tak sadar bahwa bangsa sedang menuju kekacauan yang lebih dalam.

Tak hanya mengkritik, Jimly juga menawarkan solusi konkret: perlunya perubahan sistemik melalui amandemen konstitusi. 

Ia menilai, UUD 1945 perlu diperbaharui untuk menyesuaikan dengan tantangan zaman dan memperkuat institusi demokrasi yang kini rapuh.

"Kita ini sudah harus melihat ke depan. Sampai kapan kita akan begini terus. Karena itulah saya katakan tidak perlu terus berlarut-larut mempermasalahkan persoalan ijazah (ijazah palsu Jokowi). Itu hanya persoalan masa lalu," tegasnya.

Persoalan ijazah yang sempat menjadi isu nasional, menurut Jimly, seharusnya dapat diselesaikan secara transparan dan hukum. 

Ia bahkan menawarkan satu mekanisme sidang terbuka, yang melibatkan tiga kelompok: penggugat, pembela, dan pihak netral. 

Dengan pendekatan ilmiah dan obyektif ini, polemik bisa segera dituntaskan tanpa membelah masyarakat lebih dalam.

"Bareskrim tidak punya wewenang untuk mengatakan bahwa ijazah itu asli atau tidak. Yang berwenang itu pengadilan. Maka kalau saya yang diperintahkan untuk menyelesaikan, saya akan gelar sidang terbuka," ujarnya.

Kehadiran Prof. Jimly di Solo sendiri adalah dalam rangka menjadi pembicara Seminar Nasional bertajuk "Membangun Masa Depan yang Lebih Baik: Evaluasi 25 Tahun Reformasi dan Pentingnya Tata Ulang Sistem Konstitusi Negara Melalui Perubahan ke-5 UUD'45", yang digelar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unisri Surakarta.

Rektor Unisri, Prof. Dr. Sutoyo, menyampaikan bahwa seminar ini merupakan bagian dari upaya kampus untuk terus mendorong mahasiswa dan masyarakat berpikir kritis tentang masa depan bangsa. 

"Unisri terutama Fakultas Hukum memang punya misi menghadirkan tokoh-tokoh nasional, guna memberikan wawasan yang lebih luas kepada mahasiswa dan masyarakat. Dan kebetulan Prof Jimly ini belum pernah kita undang. Apalagi tema yang diangkat juga relevan, terkait refleksi reformasi," ungkap Sutoyo.

Sebelum Jimly, beberapa tokoh nasional telah beberapa kali hadir mengisi acara seminar yang digelar Unisri, di antaranya Mahfud MD, Abraham Samad, Eros Djarot dan yang lainnya. //Sik

Type above and press Enter to search.