![]() |
Masjid Tegalsari Solo menyimpan kisah sejarah yang menarik |
WARTAJOGLO, Solo - Masjid Jami' Tegalsari, yang terletak di Jl Wahidin, Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah, bukan sekadar tempat ibadah biasa.
Masjid ini merupakan simbol sejarah dan budaya Islam yang memiliki nilai penting dalam perjalanan umat Islam di Solo.
Dibangun bertepatan dengan momen bersejarah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Masjid Tegalsari menjadi masjid "swasta" pertama di Kota Solo.
Keberadaannya menandai kemandirian umat Islam dalam membangun tempat ibadah tanpa campur tangan pemerintah Hindia Belanda maupun Keraton Surakarta Hadiningrat.
Masjid Tegalsari dibangun atas inisiatif perorangan, salah satunya oleh K.H. Ahmad Shofawi, seorang saudagar batik kaya yang mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid ini.
Menurut HM Al Amin, Ketua Bidang Kemasjidan Masjid Tegalsari, pada masa itu, pembangunan masjid jami (masjid besar untuk shalat Jumat) merupakan kewenangan pemerintah Hindia Belanda atau Keraton Surakarta.
Masyarakat biasa tidak mudah mendapatkan izin untuk membangun masjid semacam itu.
"Pembangunan masjid jami selalu dikontrol ketat oleh pemerintah Hindia Belanda karena masjid sering dijadikan tempat syiar agama dan penghimpunan massa, yang dianggap berpotensi menimbulkan keresahan," jelas Amin saat ditemui pada Kamis, 13 Maret 2025 usai pelaksanaan shalat tarawih di Masjid Tegalsari.
Namun, berkat lobi dan hubungan baik K.H. Ahmad Shofawi dengan Keraton Surakarta, izin pembangunan Masjid Tegalsari akhirnya dapat diperoleh.
Kebetulan K.H. Ahmad Shofawi adalah besan dari Kanjeng Raden Penghulu (KRP) Tafsir Anom V, seorang pejabat tinggi di Keraton Surakarta pada masa Sinuhun Pakubuwono X.
"Putra dari KRP Tafsir Anom V, yakni Raden Muhammad Adnan, menikah dengan putri K.H. Ahmad Shofawi. Sehingga hal ini memudahkan proses perizinan," ungkap salah satu cucu dari Raden Muhammad Adnan ini.
![]() |
HM Al Amin menunjukkan beduk Masjid Tegalsari |
Masjid Tegalsari memiliki arsitektur khas Jawa dengan sentuhan Islami. Salah satu keistimewaannya adalah tiang pancang atau soko guru yang terbuat dari kayu jati utuh berusia ratusan tahun.
Kayu jati utuh ini juga dipakai sebagai bahan pembuatan bedug, yang sampai sekarang masih terlihat di serambi masjid.
Selain itu, lantai masjid ini menggunakan marmer mewah yang diimpor langsung dari Italia.
Kemewahan ini tidak lepas dari dukungan para saudagar kaya atau yang biasa disebut Galgendu, terutama dari kawasan Laweyan, yang dikenal sebagai pusat industri batik di Solo.
Dengan dukungan finansial yang kuat, pembangunan Masjid Tegalsari hanya memakan waktu sekitar satu tahun.
Pada akhir 1929, masjid ini resmi berdiri dan segera menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi masyarakat sekitar.
Keberadaan Masjid Tegalsari memudahkan warga Laweyan untuk melaksanakan shalat Jumat tanpa harus pergi jauh ke Keraton Surakarta.
"Kalau dulu sebelum ada Masjid Tegalsari ini, warga harus ke keraton untuk menjalankan shalat Jumat. Nah begitu masjid ini selesai dibangun, warga sekitar Laweyan akhirnya bisa shalat Jumat di sini dan tak perlu jauh-jauh lagi," jelas mantan anggota DPRD Kota Surakarta ini.
Amin juga menjelaskan bahwa salah satu tradisi unik yang melekat pada Masjid Tegalsari adalah penggunaan bom dul sebagai penanda waktu berbuka puasa.
Bom dul adalah alat yang digunakan untuk menghasilkan suara ledakan keras, biasanya terbuat dari bahan karbit atau petasan.
Tradisi ini sebelumnya hanya dilakukan oleh Masjid Agung Keraton Surakarta, sehingga Masjid Tegalsari menjadi satu-satunya masjid swasta yang melakukannya.
"Di masa 70-an hingga 80-an, saat saya masih kecil, suara bom dul sangat ditunggu-tunggu oleh warga Solo. Ledakannya bisa terdengar hingga radius 10 kilometer," kenang Amin.
Suara bom dul tidak hanya menandai waktu berbuka puasa, tetapi juga menciptakan kemeriahan dan kebersamaan di bulan Ramadan.
Sebab warga selalu menjadikan patokan suara bom dul ini sebagai penanda datangnya waktu berbuka puasa.
Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini dihentikan karena alasan keamanan dan keberadaan teknologi modern seperti pengeras suara yang lebih praktis.
Di bulan Ramadan tahun 2025, Masjid Tegalsari memperkenalkan tradisi baru yang disebut "Madang Gedhen" atau makan besar.
Acara ini digelar setiap Kamis, di mana pengurus masjid menyediakan ratusan porsi makanan untuk dibagikan secara gratis kepada jamaah dan masyarakat sekitar.
"Pada hari biasa, jamaah mungkin makan sesuai jatah yang diberikan. Tapi di acara 'Madang Gedhen', mereka bisa makan sepuasnya," jelas Amin.
Masjid Tegalsari Solo, Saksi Sejarah Kemandirian Galgendu Laweyan https://t.co/gzMn5UCwTp
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) March 14, 2025
Amin juga menjelaskan bahwa seluruh biaya untuk acara ini berasal dari sumbangan para donatur yang secara ikhlas menyisihkan rezeki mereka.
"Untuk pembiayaan, seluruhnya datang dari para donatur, yang secara ikhlas menyumbangkan harta mereka. Para donatur ini datang sendiri tanpa kami minta. Sebab kami memang selalu memegang prinsip untuk tidak minta-minta. Tapi tentu kami sangat terbuka bila ada yang mau memberi," tandasnya.//Sik