POPULER

Warga Solo Siap Perang Lawan Khilafah

Warga Solo Siap Perang Lawan Khilafah






Demi tegaknya Pancasila dan utuhnya NKRI, Warga Kota Solo bertekad akan melawan semua paham dan ideology yang ingin mengganti Pancasila. Termasuk system khilafah yang selama ini dipropagandakan oleh HTI dan beberapa ormas radikal lainnya.






WACANA pembentukan sistem pemerintahan khilafah yang selalu didengung-dengungkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), langsung direspon tegas oleh pemerintah dengan membubarkan organisasi tersebut. Apalagi dalam beberapa kegiatan yang dilakukannya, ada indikasi bahwa ormas HTI cenderung menolak Pancasila sebagai ideology bangsa. Sehingga dikhawatirkan akan merusak keutuhan NKRI.
Dan melaui siaran pers yang dilakukan oleh Menkopolhukam Wiranto pada 8 Mei 2017 lalu, diputuskan bahwa HTI akan dibubarkan dan dilarang untuk berdiri di Indonesia. Menurutnya kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan UUD 1945 serta Pancasila, sebagaimana diatur dalam UU Ormas. Sehingga memenuhi persyaratan untuk dibubarkan.
Dalam keputusan tersebut, Menkopolhukammemaparkan tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan UUD 1945 serta Pancasila, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Namun tentunya untuk bisa benar-benar membubarkan HTI, masih ada jalan panjang yang harus dilalui pemerintah. Sebab, meski didukung sebagian besar masyarakat Indonesia, langkah pemerintah tidak akan mudah untuk menghapus HTI. Apalagi di belakang berdiri para pakar politik dan hukum, yang tentu tidak akan tinggal diam. Dan akan melakukan perlawanan baik secara politik maupun hukum. Sehingga tentu aka nada perjalanan panjang yang bakal dilalui oleh pemerintah, untuk menuntaskan masalah ini. Yang bukan tidak mungkin justru pemerintah yang akan kalah.


Warga membaca ikrar bersama anti khilafah

Karena itulah, demi untuk mendukung langkah pemerintah dalam membersihkan gerakan-gerakan radikal dan anti Pancasila di negeri ini, berbagai kelompok masyarakat terus mengkampanyekan tekat untuk menjaga Pancasila dan keutuhan NKRI. Salah satunya adalah sebuah sarasehan yang digagas oleh organisasi Front Masyarakat Anti Khilafah dan Anti Radikal di Gedung Bakorwil Solo, pada Senin (19/6) sore.
Kelompok yang terdiri dari berbagai ormas tersebut, menggelar sarasehan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait bahayanya paham radikal bagi keutuhan bangsa. Tiga pembicara dihadirkan untuk menjabarkan permasalahan ini. Di antaranya adalah tokoh agama KH. Muhammad Dian Navi dari Ponpes Al Muayyad Windan, lalu Ketua KNPI Solo Bambang Gage, dan Ketua Front Pembela Pancasila (FPP) BRM. Kusumo Putro.
Dalam penyampaiannya, KH Dian Navi menjelaskan bagaimana kelebihan dari Pancasila yang merupakan rumusan para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai golongan, termasuk ulama. Sehingga tentu akan sesuai dengan kepribadian bangsa. Dan hal itu berbeda dengan system khilafah yang cenderung sentralistik, di mana kebijakan akan cenderung ditentukan oleh pemimpin utama dari system itu yang berada di luar negeri. Sehingga akam ada kecenderungan pertentangan dengan kearifan budaya local.
“Untuk bangsa Indonesia yang majemuk, tentu Pancasila tetaplah ang terbaik. Karena ideology ini bisa merangkul semua golongan. Sehingga dengan demikian maka persatuan dan kesatuan bisa terwujud,” ujarnya.
Hal yang hampir sama juga disampaikan oleh Bambang Gage, yang menyebut bahwa keberagaman adalah bagian dari kekayaan bangsa. Dan dengan keberagaman inilah, justru bangsa ini bisa maju dan berkembang. Karena itulah masyarakat diharapkan bisa senantiasa memilah informasi yang didapat, agar tidak sampai salah dalam menyikapinya.
“Selain bisa sharing, kita juga harus bisa saring. Artinya sebelum menyebarkan sebuah informasi, hendaknya kita menyaring dulu informasi itu. Apakah isinya sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ada, atau justru malah bertentangan, dan berpotensi menciptakan perpecahan. Dengan begitu maka keutuhan NKRI bisa senantiasa terjaga,” ungkapnya.

BRM. Kusumo Putro saat menyampaikan materi tentang Pancasila

Sedangkan Kusumo Putro yang menjadi pembicara terakhir menegaskan bahwa Pancasila adalah buah dari perjuangan bangsa Indonesia. Berbagai dinamika dilalui dalam perumusannya, agar benar-benar sesuai dnegan kepribadian bangsa. Karena itulah Pancasila bukan hanya sebatas ideology atau pandangan hidup. Pancasila adalah nafas bangsa yang harus selalu dijaga. Sehingga siapapun yang berusaha untuk mengganti Pancasila adalah musuh bangsa dan harus dilawan.
Kusumo juga menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kayaraya, sehingga selalu menjadi icaran pihak luar untuk menguasainya. Dan salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengubah ideology bangsa. Yang bisa berakibat pada munculnya perpecahan. Sehingga akhirnya bisa dengan mudah dikuasai.
“Tidak ada satu silapun yang bertentangan dengan norma-norma yang ada. Karena itulah tidak ada alasan apapun untuk mengganti Pancasila, apalagi dengan paham khilafah. Sebab paham-paham radikal seperti yang dianut HTI dan beberapa ormas lain, berpotensi merusak keutuhan NKRI. Yang tentunya bila ada perpecahan di tengah bangsa ini, akan menjadi sasaran empuk bagi bangsa lain yang akan menguasai kita,” terangnya.
Para pimpinan ormas bergandengan tangan bersama usai menanda tangani ikrar anti khilafah

Selain penyampaian materi terkait bahaya gerakan khilafah, di akhir sarasehan juga dilakukan ikrar bersama yang diikuti oleh seluruh perwakilan ormas yang ikut hadir. Tampak di sana Ketua FPP, Nahdlatul Ulama (NU), Pemuda Pancasila (PP), serta Garda Bangsa, membacakan ikrar bersama serta menanda tangani sebuah pernyataan sikap terkait keberadaan paham radikal di masyarakat.
Dan dari sekian ormas yang hadir dan ikut tanda tangan, sebuah sikap yang berbeda justru ditunjukkan oleh perwakilan dari ormas Majlis Tafsir Al Quran (MTA), yang tidak mau ikut tanda tangan dan bergandengan bersama. Entah kenapa sikap ini diambil. Apakah MTA yang selama ini kerap bergesekan dengan warga NU tersebut, tidak sepakat dengan materi dalam sarasehan itu? Tentu tidak ada yang tahu persis. Namun yang pasti salah seorang perwakilan ormas ini menyebut, bahwa mereka tidak berani karena tidak mendapat instruksi khusus dari ketua umumnya. //

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close