Dengan keterbatasan fisiknya, empat puncak tertinggi di dunia sudah diinjaknya. Dan dia ingin tujuh puncak tertinggi di dunia bisa ditaklukkan, sebelum akhir hayatnya.
WARTAJOGLO, Solo - Musibah yang dialami di Stasiun Manggarai Jakarta karena terpeleset dan terlindas kereta api pada tahun 1996 silam, tentu tidak pernah dilupakan oleh sosok Sabar Gorky. Sebab kecelakaan yang terjadi usai dirinya mendaki Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat tersebut, memaksa pria 49 tahun ini merelakan kaki kanannya untuk diamputasi. Bahkan tak hanya sekali, Sabar harus menjalani proses amputasi hingga tiga kali, hingga terakhir hanya menyisakan beberapa centimeter bagian pahanya.
Berbagai bayangan surampun hampir tiap saat datang menghantui Sabar, terkait nasib hidupnya ke depan. Dan hal itu sempat membuat warga Gendingan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah ini nyaris putus asa. Sebab aktifitasnya di dunia olahraga petualangan tentu sangat terganggu dengan kondisi yang dialami.
Namun sesuai dengan namanya, Sabar, pria ini memang benar-benar memiliki mental yang kuat untuk menerima dengan ikhlas musibah pada dirinya. Sehingga meski sempat benar-benar terpuruk akibat kecelakaan, Sabar dengan cepat bangkit dan lepas dari kungkungan kesedihan. Dan hal itu langsung diwujudkan dnegan melakukan pendakian ke Gunung Lawu.
“Mental saya memang sempat drop. Tapi dukungan semangat dari teman-teman, akhirnya benar-benar mendorong saya untuk tidak putus asa dengan keadaan yang saya alami. Sehingga kemudian saya tetap bisa menjalani aktifitas saya sebagai pendaki gunung, meski dengan kondisi fisik yang tidak utuh,” jelas Sabar Gorky saat ditemui Wartajoglo.com di Gedung PMI Kota Surakarta.
Sabar Gorky di depan Gedung PMI Kota Solo |
Beberapa bulan ini Sabar memang direkrut oleh PMI untuk membantu di posko Satgana. Yang mana kemampuan dan keahlian Sabar sebagai petualang, dipandang sangat perlu untuk ditularkan kepada para anggota PMI, di saat sedang terjun di lokasi-lokasi bencana, dnegan medan yang berat. Selain itu, pengalaman hidup Sabar juga diharapkan bisa memberikan motivasi tersendiri pada para warga yang terkena bencana, agar tetap tabah dan tidak patah semangat.
Dedikasi Sabar sendiri dalam dunia petualangan memang sudah tidak diragukan lagi. Menggeluti dunia ini sejak tahun 1980an, sudah berbagai gunung baik di dalam maupun di luar negeri dipuncakinya. Dan yang menarik, justru berbagai prestasi diraihnya setelah dia mengalami cacat fisik.
Hal ini tentu saja mendatangkan rasa syukur tersendiri di hati bapak satu orang anak ini. Sebab di tengah keterbatasan fisik yang dialaminya, justru dia mampu berbuat lebih dibanding mereka yang memiliki fisik lengkap. Karena itulah, hal ini semakin meningkatkan motivasi Sabar untuk terus berprestasi.
Banyak Prestasi
Ya, sebuah torehan prestasi berupa medali emas di ajang lomba panjat dinding tingkat Asia di Korea Selatan pada 2009, membuktikan bahwa Sabar belum habis. Selanjutnya dalam sebuah ajang yang sama dengan tingkat yang lebih tinggi, yaitu kejuaraan panjat dinding sedunia di Perancis, pria yang juga menekuni dunia balap sepeda ini, berhasil menyabet posisi ke empat.
Sabar menerima medali emas dalam sebuah kejuaraan panjat dinding di Korea Selatan |
Karena itulah pada pembukaan perhelatan ASEAN Para Games tahun 2011 di Kota Solo, Sabar didaulat untuk menyalakan obor pembukaan dengan cara yang unik. Di mana dia memanjat ke atas dinding stadion, lalu meluncur menggunakan flying fox ke arah obor.
“Semua yang saya alami adalah bagian dari rencana Tuhan. Dan hal itu harus saya syukuri. Karena justru dengan kondisi yang saya alami seperti sekarang ini, justru ada banyak hal positif yang saya dapatkan. Yang mungkin belum tentu saya raih saat fisik saya masih utuh,” ungkapnya.
Sabar memang tidak menampik bahwa namanya justru melambung setelah kehilangan satu kakinya. Bahkan nama Gorky yang disandang di belakang namanya, juga tak lepas dari prestasi yang ditorehkannya, setelah menggapai puncak Pegunungan Elbrus di Rusia.
Saat itu bertepatan dnegan perayaan hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2011, Sabar dan rombongan tim ekspedisinya berhasil menggapai puncak gunung tertinggi di Benua Eropa itu. melihat kegigihan Sabar yang memiliki kekurangan fisik dan berhasil menggapai puncak Elbrus, seorang pendaki Rusia selanjutnya memberikan tambahan nama Gorky kepadanya.
Nama ini diberikan karena kisah hidup Sabar hampir mirip dnegan kisah legendaries sosok pujangga Rusia Maxim Gorky, yang juga banyak mengalami kisah getir kehidupan, hingga akhirnya meninggal dnegan sebuah karya besar. Hal itu pula yang kemudian dipandang sama dengan apa yang dialami Sabar. Apalagi dia dan rombongannya memilih jalur neraka dari sisi utara, untuk menggapai puncak Elbrus yang bersuhu minus 15 derajat celcius.
“Nama Gorky itu pemberian seorang pendaki asal Rusia saat sama-sama berhasil menggapai puncak Elbrus. Katanya artinya getir atau pahit. Karena menurutnya di balik keberhasilan yang saya raih, ada rentetan kepahitan hidup yang mengikuti saya. Dan ini katanya seperti kisah seorang pujangga Rusia yang bernama Maxim Gorky,” jelasnya.
Tak hanya Puncak Elbrus, Sabar juga telah menginjakkan kakinya di tiga puncak gunung tertinggi di dunia yang lain, yaitu Aconcagua di Argentina, Kilimanjaro di Tanzania dan Cartenz Piramid, di Papua.
Bahkan prestasi yang ditorehkan bersamaan dengan peringatan hari Pahlawan 10 Nopember 2011 itu, mendapuk Sabar sebagai pendaki difabel pertama yang berhasil mencapai puncak Kilimanjaro, tanpa bantuan orang lain. Hal ini tentu menjadi prestasi yang snagat luar biasa bagi seorang Sabar.
Dan kini di usianya yang hampir mencapai separuh abad, Sabar masih memiliki obsesi untuk bisa menaklukkan tiga puncak dunia yang lain yaitu Puncak Vinson (4.892 mdpl) di Antartika, lalu Puncak Denali atau McKinley (6.168 mdpl) di Alaska dan yang terakhir tentunya puncak tertinggi dunia Mount Everest (8.848 mdpl) di Nepal.
Dengan bisa mendaki ketujuh puncak tertinggi di dunia, tentu hal itu akan menjadi torehan prestasi yang luar biasa bagi seorang Sabar sebagi pendaki gunung. Sebab pendaki gunung sejati tentu sangat megimpikan bisa menginjakkan kaki di tujuh puncak tersebut.
Namun demikian, Sabar juga tidak terlalu ambisius. Karena untuk bisa menjalani misi tersebut juga bukan tanpa hambatan. Hal ini terutama pada permasalahan perijinan yang terkadang sangat ketat. Sehingga tidak jarang pengajuan ijin yang dilakukan, baru disetujui beberapa tahun kemudian. Padahal seiring berjalannya waktu, tentu usia juga akan bertambah. Yang tentunya juga berpengaruh pada kekuatan fisik.
“Jujur saja saya tidak mau menarget diri saya. Karena saya tidak pernah tahu kapan kesempatan itu akan datang. Selain butuh biaya besar, factor perijinan juga menjadi kendala tersendiri. Sebagai contoh, untuk mendaki ke Cartenz saja, saya harus menunggu 9 tahun baru diijinkan. Lalu saya juga pernah naik ke Monas, saat itu saya juga harus menunggu ijin hingga 9 bulan. Yang penting saya mengalir saja, dan semoga semua rencana itu berjalan dnegan lancar,” tambahnya.
Meski tidak menarget kapan harus menyelesaikan tiga misi yang belum terselesaikan itu, Sabar tiap saat selalu menyiapkan dirinya secara fisik. Dan berbeda dengan saat fisiknya masih utuh, yang bisa melahap beragam bentuk latihan fisik. Dalam kondisi seperti sekarang ini, Sabar lebih banyak menggembleng fisiknya dnegan bersepeda. Sebab menurutnya bentuk latihan inilah yang paling cocok untuk dirinya.
“Untuk saat ini saya lebih banyak berlatih dnegan bersepeda. Selain menguatkan otot kaki, juga menguatkan jantung. Dan sejauh ini bentuk latihan seperti itu bisa efektif untuk ketahanan fisik saya saat mendaki gunung,” pungkas pria yang menolak bantuan kaki palsu dan memilih berjalan dnega tongkat ini. //kls