POPULER

Meredam Sial di Penghujung Bulan Sapar

Meredam Sial di Penghujung Bulan Sapar


Serangkaian tradisi digelar masyarakat Jawa guna menyiasati datangnya Bulan Sapar, yang diyakini penuh dengan energi negatif
WARTAJOGLO - Iring-iringan prajurit Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berjalan perlahan memecah gelapnya malam di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Dengan sigap para prajurit ini menjaga empat orang pria yang memanggul sebuah tandu berisi kue lemper raksasa.

Berukuran panjang sekitar 2,5 meter dan diameter 40 cm, lemper ini menjadi benda simbolik dalam acara tradisi Rebo Wekasan yang digelar warga setempat. Karenanya tak jarang di sepanjang jalan, tangan-tangan jahil warga berusaha meraih benda itu, karena dipercaya membawa berkah. Sehingga memaksa aparat keamanan untuk bekerja ekstra keras mengamankannya. 

Penggunaan kue lemper konon terkait dengan sejarah tuga tokoh ulama di jaman Mataram, yang bernama Kiai Wonokromo, Kiai Blawong dan Kiai Kotagede. Di hari Rabu terakhir Bulan Sapar, ketuganya selalu menggelar ritual tapa ngeli (menghanyutkan diri di sungai) sambil membuat rajah di air. Sehingga air itu lantas diambil warga karena dipercaya memiliki kekuatan tertentu.

Usai tapa ngeli, ketiganya lantas berbagi makanan berupa kue lemper di halaman masjid. Sehingga tradisi itu lantas terus dipertahankan warga, dengan membuat kue lemper raksasa untuk dibagi-bagikan. Meski pada akhirnya justru jadi ajang rebutan.

Rebutan lemper hanyalah satu dari sekian banyak bentuk tradisi di Bulan Sapar, khususnya di hari Rabu terakhir. Hal ini tak lepas dari keyakinan bahwa hari Rabu terakhir atau yang biasa disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan, menjadi puncak dari segala kesialan yang ada di bulan Sapar. Sehingga masyarakat Jawa menyikapinya dengan serangkaian laku prihatin, termasuk pelaksanaan tradisi-tradisi tertentu. 

Tak hanya tradisi Rebo Wekasan, beragam tradisi unik juga digelar warga di sepanjang bulan Sapar. Tradisi yang paling terkenal tentunya adalah sebar apem Ya Qowiyu, yang digelar di wilayah Jatinom, Kabupaten Klaten. Namun ritual sebar apem sendiri sebenarnya juga dilakukan okeh warga Wonolelo, KabupatenSleman serta Pengging, Kabupaten Boyolali. 

Tradisi lain yang tak kalah tenar dan menarik minat warga untuk datang adalah penyembelihan bekakak, di wilayah Gamping, Kabupaten Sleman. 
Sebar apem Ya Qowiyyu

Tradisi sebar apem atau yang lainnya adalah bagian dari penyikapan atas kehidupan di dunia ini. Ada keyakinan bahwa dengan serangkaian tradisi yang digelar, maka segala kesialan hidup di waktu yang akan datang bisa dicegah. 

Baca Juga:

Namun yang pasti, ada satu hal yang bisa dipetuk dari serangkaian tradisi di bulan Sapar, di mana di dalamnya ada ajaran untuk beramal. Ada nilai-nilai yang bersifat peningkatan kepedulian sosial. Dengan menyebarkan ribuan kue apem, ada harapan bahwa masyarakat yang menerimanya,  yang umumnya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi lemah, akan bisa sama-sama merasakan kebahagiaan.  Sebab kue apem sendiri dipercaya sebagai simbol kemakmuran. Sehingga kemudian dipakai sebagai bagian dari tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun ini.

Meredam Bencana
Beramal sendiri dalam ajaran berbagai agama, dipandang sebagai salah satu upaya untuk meredam bencana. Dari amal yang dilakukan itulah, akan didapat doa dari mereka yang menerimanya, yang diyakini akan bisa menghindarkan seseorang dari bencana yang akan melanda.

Hal ini cukup masuk akal. Sebab selain mendapat berkah dari tradisi amal yang dilakukan, dengan saling berbagi akan bisa meringankan beban orang lain yang tengah kurang beruntung. Nah, dengan tidak adanya lagi orang yang merasa menderita karena telah mendapat bantuan, maka tidak akan ada lagi ancaman krisis sosial, yang berpotensi mendatangkan bencana di tengah-tengah masyarakat.

“Serangkaian bentuk tradisi atau ritual yang dilakukan masyarakat, memang bisa menjadi salah satu bentuk upaya yang efektif untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang akan dialami seseorang dalam hidupnya. Namun demikian  justru yang paling utama tetaplah peningkatan spiritualitas. Sebab spiritualitas inilah yang akan membimbing seseorang untuk menemukan jalan keselamatannya,” ungkap budayawan asal Solo, Totok Brojodiningrat, dalam sebuah kesempatan. //rad

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close