POPULER

Akulturasi Budaya Dalam Tradisi Imlek

Akulturasi Budaya Dalam Tradisi Imlek


Tradisi-tradisi baru muncul dalam perayaan Imlek, seiring terjadinya percampuran budaya lokal dengan Tionghoa.


WARTAJOGLO, Solo - Arak-arakan warga yang membawa gunungan kue keranjang berjalan perlahan melintasi kawasan Pasar Gede Surakarta (Solo), dalam acara Grebeg Sudiro Minggu (19/1) siang. Jelang datangnya tahun baru Imlek, masyarakat Solo memang memiliki tradisi unik yang merupakan perpaduan antara budaya Jawa dan Tionghoa. Di mana dalam acara ini berbagai tradisi dari dua budaya yang ada saling berbaur, untuk ditampilkan sebagai wujud ungkapan rasa syukur dan kegembiraan jelang datangnya tahun baru.

Tak hanya gunungan kue keranjang yang merupakan makanan khas masyarakat Tionghoa di tahun baru Imlek, arak-arakan lain menampilkan para anggota Padepokan Brojobuwono yang mengusung gunungan hasil bumi. Ada juga arak-arakan gadis berkostum kreasi batik, yang biasa ditampilkan dalam even Solo Batik Carnival, serta penampilan berbagai kesenian tradisional.

Meski tradisi jelang Imlek banyak digelar oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Namun gelaran perayaan tahun baru Imlek di Solo agak berbeda. Sebab di sinilah satu-satunya gelaran tradisi yang memadukan dua buah budaya berbeda, dan membentuk sebuah tradisi baru.

Pembauran Penguasa dan Rakyat


Selain Grebeg Sudiro, masih satu rangkaian dengan perayaan ini ada tradisi Umbul Mantram Bok Teko. Tradisi ini digelar pada Kamis malam, tiga hari jelang pelaksanaan Grebeg Sudiro. Bertempat di kawasan Kampung Sudiroprajan, yang berpenduduk campuran etnis Tionghoa dan Jawa, warga berbaur melakukan doa bersama di sebuah situs bersejarah yang disebut Bok Teko.

Ritual umbul mantram Bok Teko

Prasasti Bok Teko sendiri dibangun pada pemerintahan Sinuhun Paku Buwono X. Dan keberadaan Bok Teko sendiri tak lepas dari tradisi minum teh yang dilakukan warga etnis Tionghoa pada saat itu di tempat ini. Karena itulah pada suatu saat Sinuhun Paku Buwono X datang ke tempat ini guna menjalin keakraban dnegan warga di sana, yang merupakan salah satu penopang perekonomian keraton.

Namun karena grogi bertemu raja penguasa Surakarta, tiba-tiba teko yang disajikan salah seorang warga jatuh. Kejadian itu sempat membuat geger, karena dikhawatirkan bisa mengganggu hubungan antara masyarakat etnis Tionghoa dengan Jawa serta pihak keraton. Sehingga kemudian di tempat itu dibuatkan sebuah prasasti untuk pengingat kejadian, dan diberi nama Bok Teko. Yang agar kejadian serupa tidak sampai terjadi, wargapun kerap melakukan ritual dan berdoa di sana.

Teko sendiri diyakini sebagai simbol dari pembauran antara raja dan rakyat. Badan teko dipandang sebagai simbol dari rakyat, sedangkan tutupnya adalah raja. Jadi teko dan tutupnya menyimbolkan masyarakat dan penguasa yang bersatu padu untuk mewujudkan hidup yang tenteram dan sejahtera. Yang dalam pemahaman lebih dalam dimaknai sebagai pembauran etnis Tionghoa dan Jawa, karena teko merupakan alat minum khas masyarakat Tionghoa.

“Selain Medan dan Singkawang, Kota Solo juga menjadi salah satu perhatian  masyarakat tiap kali jelang perayaan Imlek. Dan satu hal yang menyedot perhatian adalah serangkaian acara yang merupakan perpaduan dua tradisi budaya Jawa dan Tionghoa. Sehingga hal itu membuat acara di Solo berbeda dnegan di Medan dan Singkawang,” jelas  Sumartono Hadinoto, tokoh masyarakat Tionghoa yang juga ketua panitia Solo Imlek Festival 2020 dalam sebuah kesempatan.

Sumartono Hadinoto

Dari pembauran budaya yang ada inilah, jalinan hubungan antara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat Jawa di Solo begitu mesra. Bahkan perayaan malam tahun baru Imlek di kota ini terasa sangat semarak. Selain hiasan ribuan lampion yang berjajar serta bergelantungan di sepanjang kawasan Balai Kota dan Pasar Gede. Ada juga pentas seni serta pesta kembang api di malam puncak pergantian tahun. Yang mana ribuan warga Solo akan membludak memenuhi kawasan itu, untuk menikmati pertunjukkan yang ada.

Satu hal yang juga tak kalah menarik adalah lampion berbentuk karakter shio, yang menghias ruas jalan di sekitar kawasan Pasar Gede. Lampion-lampion ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga di tengah temaram cahaya ribuan lampion yang tergantung memenuhi jalanan. Dan dijadikan obyek swafoto bagi warga yang hadir menikmati malam pergantian tahun. 

Halaman

| 1 | 2  |

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close