POPULER

Menyibak Misteri Wanita Bahu Laweyan

Menyibak Misteri Wanita Bahu Laweyan


Perempuan bahu laweyan diyakini akan membunuh pria dalam jumlah tertentu, untuk lepas dari kutukan yang melekat pada dirinya. 


WARTAJOGLO, Solo - Meski sangat mencintai Kartika kekasihnya, Sofyan sepertinya masih belum siap untuk melanjutkan hubungan hingga ke jenjang pernikahan. Padahal Kartika yang sudah dua kali janda sudah ingin segera menikah dnegan Sofyan yang sudah lebih dari setahun dipacarinya. Entah apa yang dipikirkan oleh pria yang kesehariannya bekerja sebagai juru tagih di sebuah perusahaan leasing itu. Sehingga dia harus menunda-nunda terus rencana pernikahannya dengan Kartika.

Kartika sendiri adalah seorang janda muda yang ditinggal mati oleh suaminya. Yang menarik adalah, di usianya yang baru 30 tahunan, perempuan cantik ini sudah menyandang predikat janda sebanyak empat kali. Artinya dia sudah menikah sebanyak empat kali dan kemudian cerai. Yang mana perceraian yang dialaminya kesemuanya adalah karena sang suami meninggal.

Agaknya hal inilah yang menjadi penyebab keraguan dalam hati Sofyan. Sebab banyak orang menyebut kalau Kartika adalah perempuan bahu laweyan, yang mana akan membuat laki-laki manapun yang menikahinya pasti akan mati. Dan meski Sofyan sendiri sebenarnya adalah seorang duda, namun dia sepertinya tidak ingin mati sia-sia dengan coba-coba menikahi Kartika. Bahkan untuk sekedar berhubungan badan saja dia tidak berani.

Dalam kepercayaan Masyarakat Jawa, sosok wanita bahu laweyan memang bukan sosok yang sembarangan. Karenanya seorang pria dianjurkan untuk berpikir masak-masak sebelum memutuskan menikah dengan perempuan bahu laweyan. Sebab hal itu terkait dengan keselamatan jiwanya kelak. 

Katuranggan

Bahu laweyan sendiri sebenarnya adalah salah satu bentuk katuranggan yang melekat pada diri wanita. Meski bias gender, ilmu tentang katuranggan ini memang sengaja diciptakan oleh para pendahulu untuk mengkondisikan agar seorang pria selalu berhati-hati dan memperhatikan bibit, bobot dan bebet sebelum memilih istri. Dan bahu laweyan adalah salah satu katuranggan yang sangat ditekankan untuk dihindari, karena membahayakan laki-laki yang akan mengawininya.



Hal ini disampaikan oleh GPH Dipokusumo, budayawan yang juga adik Sinuhun Paku Buwono XIII. Menurutnya dengan ilmu katuranggan itu seorang laki-laki tidak akan sembarangan dalam memilih calon istri. Karena pernikahan yang akan dijalaninya adalah bagian dari proses perjalanan hidup yang tidak bisa dibuat main-main.

Dan khusus untuk bahu laweyan sendiri, Dipokusumo memang tidak bisa memastikan bagaimana ciri fisik yang melekat pada perempuan dengan predikat seperti itu. Belum ada keterangan yang pasti yang menjelaskan tentang sosok perempuan bahu laweyan. Cerita yang berkembang di masyarakat umumnya hanya sebatas cerita tutur yang berkembang darin mulut ke mulut dan diyakini sebagai sebuah kebenaran. Meski belum pernah ada bukti empiris.

“Pembuktian terhadap sosok bahu laweyan tentu sulit. Karena pembuktiannya adalah dengan cara menjalani hidup bersamanya. Dan meski orang-orang tua kita dulu telah membeberkan beberapa ciri fisik tertentu terkait bahu laweyan, namun hal itu belum bisa seratus persen disebut seagai ciri bahu laweyan. Karena sesungguhnya bahu laweyan itu lebih terlihat dari kejadian yang muncul setelah seseorang menjalani hidup bersama perempuan, yang dianggap bahu laweyan,” jelas Dipokusumo seperti dikutip dari Majalah LIBERTY edisi 2447 (April 2011).

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, bahu laweyan digambarkan sebagai perempuan dengan ciri khusus berupa toh atau tompel atau tahi lalat besar yang ada di bahu kirinya. Ada juga yang menyebut bahwa perempuan bahu laweyan adalah perempuan yang memiliki toh tepat di atas kemaluannya. Lalu ciri yang lain menurut Dipokusumo adalah adanya lubang tepat di punggungnya. Lubang yang serupa lesung pipit di pipi ini menjadi tanda langka yang tidak akan dimiliki oleh wanita-wanita pada umumnya. Dan ada pula yang menyebut perempuan ini memiliki bahu melengkung seperti busur panah. 

Titisan Iblis

Khusus untuk toh atau tompel atau tahi lalat berukuran besar yang melekat di bagian tubuh perempuan bahu laweyan, hal ini konon terkait dengan sosok setan yang diyakini masuk dalam tubuh perempuan tersebut. Sebab dalam keyakinan beberapa masyarakat, toh yang merupakan tanda lahir pada seorang bayi tersebut diyakini sebagai symbol setan yang melekat pada diri seseorang.

Karena itulah banyak orang yang menyebut bahwa perempuan bahu laweyan adalah perempuan titisan iblis atau setan. Sehingga dia akan selalu mencari korban nyawa yang diambil dari para suami yang menikahinya. Keyakinan ini diperkuat dengan cerita bahwa meski umumnya terbilang cantik, namun pandangan mata perempuan bahu laweyan sangat tajam dan menyeramkan.

Hal ini memang tidak sepenuhnya benar. Sebab banyak bayi yang lahir dengan tanda lahir berupa toh yang ternyata hidupnya baik-baik saja. Tapi khusus untuk perempuan bahu laweyan, kemunculan toh ini justru tidak terjadi pada saat bayi. Sehingga tidak akan ada orang yang menduga kalau dia adalah sosok bahu laweyan.

Kemunculan toh yang menjadi symbol setan untuk perempuan bahiu laweyan justru muncul saat dia mulai beranjak dewasa, yang ditandai dengan haid untuk pertama kali. Nah, pada saat itulah setan akan berusaha mencari sosok perempuan yang bisa ditempati tanda khusus darinya. Dan hal ini biasanya memang snagat terkait dengan latar belakang kehidupan si perempuan dan keluarganya. Artinya bisa jadi kemunculan bahu laweyan adalah bagian dari konsekuensi sebuah laku ritual sesat tertentu, yang imbasnya adalah pada salah seorang anggota keluarga.


Dan saat seorang perempuan ‘terpilih’ menyandang predikat bahu laweyan, maka dalam dirinya juga akan melekat sifat-sifat buruk yang membuatnya berbeda dengan perempuan lainnya. Dalam beberapa cerita di masyarakat, selain ciri fisik berupa tanda setan di tubuhnya, seorang perempuan bahu laweyan juga memiliki ciri perilaku yang khas yaitu cenderung tomboy dan yang pasti tidak akan bisa memiliki anak.

Ini karena sosok perempuan bahu laweyan sejatinya hanya seperti sesosok boneka yang tidak berjiwa. Dan jiwanya tergantikan oleh setan yang haus akan darah. Karena itulah dia akan terus mencari korban demi keberlangsungan hidupnya.

Namun dari cerita yang berkembang, meski sosok perempuan bahu laweyan bisa dikatakan sebagai sosok perempuan haus darah, hal ini ternyata tidak berlangsung seumur hidup. Sebab saat dia telah memakan korban sebanyak tujuh orang laki-laki, maka setan yang merasuk dalam tubuhnya akan pergi dan berganti dengan jiwa si perempuan itu sendiri. Sehingga saat pada pernikahannnya yang ke delapan, sang suami tidak akan mengalami masalah. Hanya saja, kemampuannya untuk memiliki anak tetap tidak bisa terpenuhi. Karena setan yang sebelumnya menempati tubuhnya telah merusak system reproduksinya. Sehingga sampai kapanpun dia akan mandul.

Meski demikian, di dalam masyarakat hal ini sulit sekali terjadi. Sebab belum sampai si wanita tersebut menggenapi korbannya hingga tujuh pria, biasanya sudah tidak ada lagi laki-laki yang mau berhubungan dengannya. Sehingga akhirnya dia harus menjalani hidupnya dalam kesendirian hingga ajal menjelang.

Korban tujuh orang pria memang telah diyakini menjadi syarat mutlak untuk menetralisir aura buruk bahu laweyan. Karena itulah, tak jarang seorang pria yang telah benar-benar jatuh cinta pada perempuan bahu laweyan, akan merelakan pujaan hatinya itu menikah dnegan pria lain dulu. Tujuannya tentu agar dia tidak sampai menjadi korban keganasan setan yang merasuki jiwa si perempuan.

Dan bila tujuh orang pria telah menjadi korban maka seorang perempuan bahu laweyan yang akan dinikahi harus diruwat dengan memakai air dari tujuh sumber yang ditaburi bunga tujuh rupa. Tujuannya adalah untuk membersihkan sisa-sisa energy negatif yang ditinggalkan setan yang sebelumnya menyusupi dirinya. Dengan begitu, si perempuan tersebut akan bisa kembali hidup normal seperti perempuan lain pada umumnya. 

Tidak Ada Hubungan dengan Masyarakat Laweyan


Kampung Laweyan

Kisah tentang perempuan bahu laweyan memang bukan cerita baru di masyarakat Jawa. Karena itulah ada tuntunan dari para orang tua untuk selalu berhati-hati dalam memilih pasangan. Hal ini bertujuan agar hubungan yang terjalin di kemudian hari bisa berjalan langgeng tanpa ada masalah. Dan adanya kata laweyan yang tersemat dalam istilah ini sempat memunculkan adanya pandangan tertentu pada sebuah kelompok masyarakat di Kota Solo, Jawa Tengah.


Ya, masyarakat kampong Laweyan memang sempat dianggap memiliki kaitan erat dengan katuranggan bahu laweyan. Di mana para perempuan di kelompok masyarakat yang dikenal dnegan kerajinan batiknya ini dianggap memiliki ciri tersebut. Sehingga banyak orang yang kemudian mencoba menghindari hubungan dnegan perempuan dari kelompok masyarakat yang satu ini.

Dan pandangan negatif terhadap masyarakat Laweyan sempat semakin meningkat manakala terjadi peristiwa geger Kartasura. Di mana saat terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan orang-orang Cina pimpinan Sunan Kuning, Sinuhun Paku Buwono II sempat melarikan diri meninggalkan keraton. Dan dalam pelariannya, dia sempat singgah di wilayah Laweyan dan kemudian meminjam kuda pada salah seorang warga di sana. Namun sayangnya warga tersebut tidak bersedia meminjamkan. Alasannya karena Laweyan bukan daerah taklukan Mataram.

Hal itu kontan menciptakan semangat kebencian tersendiri di kalangan pengawal PB II, yang kemudian semakin menguatkan keterkaitan image bahu laweyan dengan kelompok masyarakat yang satu ini. Namun demikian, GPH. Dipokusumo, menyebut bahwa pihak keraton tidak pernah menguatkan image leterkaitan bahu laweyan dengan masyarakat Laweyan. Karena baginya istilah bahu laweyan sudah ada jauh sebelum masyarakat Laweyan ada. Meski dia sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa kata laweyan dipakai untuk menyebut katuranggan yang satu ini.

“Keraton tidak pernah memusuhi masyarakat Laweyan. Jadi tidak mungkin kalau isu bahu laweyan sengajka dihembuskan pihak keraton untuk menyudutkan masyarakat Laweyan. Sebab bahu laweyan sejatinya sudah ada sejak awal sejarah kehidupan manusia. Dan tidak ada kaitan dnegan masyarakat Laweyan,” jelas Dipokusumo.

Dipokusumo hanya menjelaskan kemungkinan adanya makna yang hampir sama antara kata laweyan dalam bahu laweyan dengan masyarakat Laweyan. Menurutnya, penyebutan istilah laweyan dalam masyarakat pengrajin batik di Kota Solo ini karena berhubungan dengan profesi mereka. Laweyan berasal dari kata lawe atau benang putih yang menjadi bahan baku kain. Dan karena masyarakat Laweyan memang memproduksi sendiri benang hingga batiknya, maka masyarakat di sekitarnya menyebut dnegan sebutan Laweyan, yang berarti tempat produksi benang.

Sedangkan dalam istilah bahu laweyan, Dipokusumo menyebut bahwa makna tersebut juga terkait dnegan benang atau tali. Dan karena benang lawe umumnya ditenun menjadi kain mori yang seringkali diidentikkan dnegan pembungkus jenasah, maka kata laweyan di sini diyakini memiliki makna tali kematian. Sedangkan kata bahu sendiri memiliki makna badan. Sehingga kata bahu laweyan bisa diartikan sebagai tubuh yang memiliki ciri-ciri pembawa kematian.

Dari penjabaran makna tersebut, jelas tidak ada keterkaitan antara bahu laweyan dengan masyarakat Laweyan. Karena bahu laweyan bisa muncul di kelompok masyarakat manapun, dan tidak hanya di masyarakat Laweyan. “Masyarakat Laweyan memang eksklusif, tapi bukan berarti bahu laweyan identik dengan masyarakat ini. Karena bahu laweyan adalah ciri katuranggan yang tidak ada hubungannya dengan kelompok masyarakat manapun,” pungkas Dipokusumo. //rad

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close