POPULER

<i>Nyadran, </i> Antara Tuntunan dan Restu Leluhur Jelang Ramadhan

Nyadran, Antara Tuntunan dan Restu Leluhur Jelang Ramadhan


Restu leluhur diyakini menjadi jalan pembuka berbagai berkah, di tengah pelaksanaan ibadah Ramadhan

WARTAJOGLO - Jelang datangnya Bulan Puasa, banyak warga yang terlihat berbondong-bondong datang ke komplek pemakaman, untuk berziarah. Keranjang-keranjang kecil berisi bunga terlihat terjinjing di tangan mereka. Bahkan di beberapa wilayah tertentu, warga juga membawa beragam makanan untuk dimakan bersama di dalam komplek makam.

Ada keyakinan bahwa bulan Ruwah menjadi saat yang tepat untuk berkunjung ke para leluhur. Sebagai bagian dari upaya pembersihan batin, jelang memasuki bulan Ramadan.

Tradisi yang oleh masyarakat Jawa disebut nyadran ini, bukanlah tradisi baru. Tradisi ini sudah berkembang sangat lama, terutama pada masa Hindu Jawa. Dan karena masih ada masyarakat pendukungnya, maka tradisi itu tetap bertahan hingga saat ini.

Nyadran atau sadranan sendiri diyakini merupakan metamorfosa dari ritual sraddha yang sudah digelar berabad yang lalu di jaman Majapahit. Konon kabarnya saat itu, untuk mengenang mendiang Ratu Tribuana Tunggadewi, kerajaan membuat sebuah rangkaian bunga berbentuk perahu. Yang diyakini bisa menjadi pengantar arwah dari mendiang sang ratu, menuju ke alam keabadian.

Dari situlah kemudian tradisi ini terus berkembang. Masyarakat mulai banyak yang mengikutinya hingga kemudian tetap terjaga hingga saat ini. Bahkan saat agama Islam mulai masuk dan berkembang di tanah Jawa, tradisi ini juga tetap dilakukan.

“Nyadran sendiri sebenarnya hanyalah peralihan bahasa dari kata sraddha. Sraddha diambil dari bahasa Kawi yang berarti leluhur, sehingga nyadran bisa diartikan sebagai upaya penghormatan pada leluhur,” jelas Drs. Suwardi Endraswara, M.Hum, budayawan dari Universitas Negeri Jogjakarta, seperti dikutip dari Majalah LIBERTY edisi 2358 (Agustus 2009).

Suasana sadranan di sebuah komplek pemakaman desa di Karanganyar, Jawa Tengah beberapa tahun lalu

Suwardi juga menambahkan bahwa, bagi masyarakat Jawa, leluhur itu dipandang sebagai sosok yang menjadi perantara kita dengan Sang Pencipta. Karena itulah leluhur yang dalam hal ini adalah para orang tua kita, harus senantiasa dihormati. Salah satu bentuknya adalah dengan berkirim doa ataupun mendatangi makamnya untuk berziarah.
Terkait dengan pelaksanaanya di bulan Ruwah (bulan sebelum Ramadhan), Suwardi menjelaskan bahwa bulan Ruwah ini diyakini sebagai bulan yang terkait dengan roh dan arwah. Karena itulah, bulan ini menjadi bulan yang sangat baik untuk menjalankan serangkaian ritual yang terkait dnegan roh dan arwah leluhur yang telah meninggal.

“Biasanya selain berziarah, masyarakat juga akan bersih-bersih makam. Hal ini juga tak lepas dari upaya menyambut bulan puasa. Yang mana bersih-bersih itu juga merupakan symbol dari upaya pembersihan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan puasa,” terangnya.

Bulan Ruwah juga diyakini sebagai pintu masuk menuju bulan Ramadan. Yang dalam Islam dipandang sebagai bulan di mana mereka bisa membersihkan segala bentuk dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan semasa hidupnya. Karena itulah serangkaian persiapan akan dilakukan di bulan ini termasuk nyadran untuk mengenang para leluhur dan melakukan ritual padusan.

Dalam ritual nyadran, seseorang akan dituntun untuk selalu ingat terhadap kematian. Sehingga hal tersebut bisa mendorongnya untuk selalu melakukan introspeksi diri agar tidak menambah dosa dan kesalahan dalam hidupnya. Sehingga akan banyak bekal hidup yang diperoleh guna menyambut datangnya kematian suatu saat nanti.

“Tak bisa dipungkiri bahwa dengan menziarahi leluhur, akan ada harapan agar para leluhur bisa memberikan berkah tersendiri pada si peziarah. Sebab para leluhur diyakini menjadi kepanjangan dari tangan Tuhan, sehingga dipandang bisa mewujudkan segala apa yang diharapkan,” pungkas Suwardi.

Di masyarakat Jawa sendiri ada banyak tradisi lain sebagai bagian dari penyambutan datangnya bulan Ramadhan. Ada yang bersifat spiritual yang mengedepankan ritus tertentu sebagai upaya pembersihan hati dan jiwa, ada pula yang mengedepankan seremoni dengan perayaan besar-besaran penuh kegembiraan.

Untuk yang bersifat spiritual, selain unggah-unggahan, ada juga tradisi jodangan di masyarakat  sekitar makam Sunan Bayat di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Lalu ada juga sadranan makam sewu di wilayah Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Serta tradisi kiamat pitik di wilayah lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Lalu untuk tradisi yang berupa keramaian dan diisi dengan pagelaran hiburan serta bazar biasa diselenggarakan di wilayah Semarang dan Kabupaten Kudus, dan disebut dengan tradisi Dugderan dan Dangdangan. Makna dangdangan sendiri adalah menghadang. Yang diartikan sebagai sebuah perayaan yang diselenggarakan untuk menghadang datangnya bulan Ramadhan. Dan kata menghadang di sini dimaknai secara positif sebagai upaya penyambutan. //Her

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close