WARTAJOGLO, Solo - Terpilih sebagai Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) periode 2020-2024, Rommy Fibri Hardiyanto dilantik oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada Senin (11/5) siang. Rommy dilantik bersama Ervan Ismail sebagai wakil ketua, dan 16 anggota yang lain.
Sebagai ketua LSF yang baru, Rommy mengaku telah memetakan berbagai permasalahan dalam lembaga tersebut. Seperti di antaranya minimnya anggaran LSF yang harus dioptimalkan, juga dampak Pandemi Corona yang menyisakan banyak persoalan, sampai mengenai dunia digital yang menjadi tantangan terbesar LSF.
“Tantangan terbesar LSF itu digital. Karena semua orang bicaranya bagaimana film di dunia digital “ kata Rommy Fibri Hardiyanto kepada wartawan, di Gedung Film Pesona Indonesia, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (11/5) siang.
Pria kelahiran Semarang, 14 Februari 1972 itu lebih lanjut menerangkan, bahwa selama empat tahun terakhir, LSF belum berpikir sampai ke sana. Tentang bagaimana menangani dunia digital yang isinya film. Sebingga ke depan hal ini jadi tantangan terbesar LSF.
Rommy Fibri Hardiyanto menjadi nahkoda baru di LSF |
Karena itulah, fenomena digital ini menjadi PR besar bagi LSF untuk menyelesaikannya. "Kalau platformnya konvensional itu sudah clear buat LSF, seperti film bioskop, TV, CD. Tapi kalau platformnya digital, LSF tidak bisa jalan sendirian, harus kerjasama dengan Kominfo dalam regulasinya, “ sambung alumni Fakultas Kedokteran Gigi UGM 1991 ini,
Tayangan di TV, kata Rommy, harus disensor oleh lembaga yang berwenang sebagaimana yang ditetapkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) adalah LSF. Semua program tayangkan TV dikirimkan ke LSF untuk disensor, tapi kalau platform-nya digital masih perlu dibicarakan siapa yang menyensor.
BACA JUGA:
Tujuh Dasawarsa Lika Liku Film Indonesia
Rommy menyampaikan, bahwa ke depan, LSF memang harus berkoordinasi secara intensif dengan Kominfo. “Nah, inilah yang perlu kita siapkan regulasinya!“ ujar Rommy.
Dalam UU Perfilman hanya disebutkan bahwa semua film yang akan dipertunjukkan di Indonesia harus mendapatkan keterangan lulus sensor dari LSF.. Sementara digital sangat global. Sehingga susah untuk mengontrolnya dan membuat digital jadi tantangan terbesar LSF, “ tutur Rommy.
Rommy menyebut anggaran untuk LSF sekitar Rp. 50 Milliar. Dan dengan tsntangan yang yang ada, tentu diperlukan kemampuan manajemen yang bagus.
“Cukup tidak cukup tentu relatif, dengan anggaran yang ada, kita optimalkan, di mana ada kegiatan yang sifatnya full anggaran dari LSF, tapi ada juga kegiatan yang sifatnya berbentuk kerjasama, di mana LSF hanya parsial partisipasi,“ paparnya.
Terkait pandemi Corona, kata Rommy, secara otomatis LSF tidak banyak bekerja karena film-film bioskop tidak tayang, begitu juga TV banyak menayangkan rerun program yang sudah tayang beberapa waktu lalu. “Tapi LSF tetap membuka pelayanan untuk penyensoran, faktanya memang tetap ada penyensoran, tapi berkurang,“ bebernya.
Rommy menyebut beberapa hal yang masih dilakukan LSF. “Seperti di antaranya, sinetron barang lama yang masa royalty untuk STLS sudah habis, kalau belum habis TV tinggal putar ulang, tapi kalau sudah habis masa STLS-nya memang harus sensor ulang,“ urai Rommy panjang lebar.
Memimpin LSF, Rommy memiliki visi yaitu membangun LSF yang independen, akuntabel, kredibel, dan profesional. “Hal ini akan diwujudkan melalui penguatan aspek penyensoran dan optimalisasi lembaga,” tegas Rommy.
Rommy mengaku akan bersinergi bersama seluruh anggota LSF periode 2020-2024. “Saya berharap masukan positif dari masyarakat dapat membangun LSF selama empat tahun mendatang, “ pungkasnya//lis