POPULER

Kasus PTSL Makin Panas. Merasa Dipermainkan Kejari Sukoharjo, LAPAAN RI Siapkan Laporan ke Kejagung

Kasus PTSL Makin Panas. Merasa Dipermainkan Kejari Sukoharjo, LAPAAN RI Siapkan Laporan ke Kejagung


Berlarut-larutnya kasus PTSL yang dilaporkan ke Kejari Sukoharjo, membuat LAPAAN RI menyiapkan rencana untuk membawa kasus ini ke Kejaksaan Agung 

WARTAJOGLO, Sukoharjo - Harapan unthk mendapat titik terang terkait kasus penggandaan sertifikat di Deaa Mojorejo, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo ternyata masih jauh panggang dari api. Kedatangan LSM LAPAAN RI untuk kedua kalinya ke Kejaksaan Negeri Sukoharjo pada Kamis (28/5) lalu, justru berbuah kecewa. Sebab ternyata berkas laporan terkait kasus ini yang sudah dimasukkan sejak Januari 2020, diduga tidak ditangani dengan serius. 

Hal ini diketahui setelah informasi yang didapatkan dari Kejari Sukoharjo, berbeda dengan temuan data di lapangan yang didapat anggota LSM tersebut. Di mana dalam kedatangan ke Kejaksaan Negeri lalu, rombongan LAPAAN RI yang dipimpin sang ketua BRM Kusumo Putro, SH, MH mendapat info bahwa berkas laporan itu sudah dilimpahkan ke Polres Sukoharjo dan Inspektorat. Namun kenyataannya dari info yang didapat, ternyata pihak Polres Sukoharjo belum mendapat limpahan berkas dari Kejaksaan Negeri. 

Bahkan dari penelusuran lebih lanjut, justru upaya penyidikan sedang dilakukan oleh pihak Polsek Bendosari. Itupun bukan karena limpahan berkas laporan dari Kejari. Melainkan berasal dari pengembangan informasi terkait pelanggaran hukum dalam program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) ini. 

"Kalau memang kasus ini ditangani serius, dalam waktu singkat tersangkanya pasti sudah bisa ditetapkan. Tapi sampai sekarang kenyataanya masih nihil. Informasi yang mereka sampaikan juga berubah-ubah. Katanya berkasnya sudah dilimpahkan ke Polres dan Inspektorat. Tapi nyatanya Polres tidak menerima. Dan hal ini akhirnya juga diakui. Di mana pelimpahan hanya dilakukan ke Inspektorat. Itupun baru sekitar sebulan yang lalu. Padahal laporan kami sudah sejak empat bulan lalu. Katanya juga sudah ada 80 pihak yang diperiksa. Tapi sampai sekarang kami juga belum dipanggil sebagai saksi pelapor," terang Kusumo saat menggelar jumpa pers terkait kasus ini pada Kamis (4/6) di kawasan Penumping, Kota Solo. 

Ketua Umum LAPAAN RI, BRM Kusumo Putro SH MH, saat menjelaskan niatnya membawa kasus  PTSL ke Kejagung

Dari kenyataan inilah, Kusumo selaku ketua LAPAAN RI merasa dipermainkan oleh Kejaksaan Negeri Sukoharjo. Bahkan dia sampai menyebut bahwa lembaga hukum ini bukan hanya tidak serius. Tapi juga telah melakukan pembangkangan terhadap perintah presiden. Sebab PTSL adalah program yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo, dalam rangka mempermudah masyarakat untuk mendapatkan sertifikat tanah. 

"Program PTSL itu adalah salah satu program andalan Presiden Jokowi, yang dibiayai oleh APBN. Jadi kalau Kejari Sukoharjo tidak mau mengusut adanya pelanggaran hukum dalam program ini, berarti dia telah membangkang pada perintah presiden," tegas Kusumo berapi-api. 

Tegakkan Supremasi Hukum

Karena itulah pria yang juga seorang advokat anggota PERADI Kota Surakarta ini berencana akan menarik kembali berkas laporan itu dari Kejari Sukoharjo. Dan akan melimpahkannya ke jenjang yang lebih tinggi. 

Bahkan tak tanggung-tanggung, Kusumo berencana melimpahkan berkas laporan itu ke Kejaksaan Agung. Sebab baginya persoalan yang terjadi saat ini bukan hnaya sebatas pada pelanggaran hukum dalam program PTSL. Tapi juga terkait dengan kinerja dari Kejari Sukoharjo yang cenderung mengabaikan sebuah pelanggaran hukum dan cenderung mengaburkan kasus. 

"Saat ini kondisinya sangat ironis. Karena kejaksaan negeri memandang bahwa nilai kerugian dari kasus ini terbilang kecil. Sehingga bila harus disidangkan, maka justru akan merugikan negara, karena biaya sidangnya juga tinggi. Ini kan pandangan konyol. Masak untuk penegakan hukum, negara harus hitung-hitungan untung rugi. Padahal bila kasus ini dibiarkan, justru dampaknya akan meluas. Dan nilai kerugian negara akan jauh lebih besar," sambungnya. 

Yang juga membuat Kusumo kecewa adalah keterangan bahwa oknum perangkat desa yang melakukan pungli, sudah mengembalikan uang hasil pungli itu ke warga. Sehingga kemudian kasusnya dianggap 'selesai'. Padahal menurut Kusumo, berapapun nilai uang yang didapat, pengembalian uang hasil pungli itu tidak serta merta menggugurkan kasus pidananya. Sehingga tetap harus ada proses hukum yang dijalankan. 

Kasus pelanggaran hukum dalam program PTSL di Desa Mojorejo, Kecamatan Bendosari sendiri terjadi pada tahun 2019. Program ini dibiayai oleh APBN sebesar Rp 240 ribu per sertifikat. dan masuk DIPA Kementerian Agraria.

Namun seiring berjalannya program, ternyata banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan. Selain adanya pungutan biaya dari yang seharusnya gratis, sampai dengan ditemukannya penggandaan sertifikat. Yang mana anggota LAPAAN RI menemukan sedikitnya ada 21 sertifikat ganda.

Karena itulah lembaga ini lantas melaporkan kasus tersebut ke Kejari Sukoharjo, agar segera diambil tindakan hukum. Sebab dalam kasus ini ada banyak pelanggaran yang terjadi. 

"Pihak perangkat desa, jelas menjadi kunci dari terjadinya kasus ini. Sebab merekalah yang berhubungan langsung dengan warga. Sehingga bsa 'bermain'. Lalu dari pihak BPN juga tak kalah konyol. Masak sebuah lembaga negara tidak punya database yang lengkap terkait kepemilikan sertifikat. Sehingga berapapun data yang dikirim oleh desa, langsung di ACC dan dijadikan sertifikat. Sampai kemudian muncul sertifikat ganda. Memangnya lembaga ini tidak memiliki tim verifikasi dalam bekerja? Kan konyol itu namanya," tukas Kusumo. 

Pria yang kerap menggelar aksi demo untuk mengkritisi berbagai kebijakan publik ini juga menegaskan, bahwa Kepala BPN Sukoharjo harus ikut bertanggung jawab. Sehingga dia juga harus segera diperiksa. 

"BPN Sukoharjo ini benar-benar konyol. Karena ketika kami konfirmasi terkait kasus penggandaan serifikat ini. Mereka dengan enteng menjawab, kalau memang terbukti ganda maka akan dibatalkan. Jawaban ini memang benar. Tapi ya jangan dipandang sesederhana itu. Sebab proses pembatalan sertifikat itu bukan urusan sepele. Ada banyak tahapan yang harus dilalui, termasuk publikasi di media serta melalui sidang. Padahal di sini ada sekitar 21 temuan (sertifikat ganda). Belum lagi di tempat lain," ungkapnya. 

Bagi Kusumo kekonyolan-kekonyolan yang ditampilkan para pejabat publik ini harus segera dihentikan. Agar masyarakat bisa mendapatkan informasi serta pendiidkan hukum yang benar. Sehingga tidak lagi menjadi korban ulah para oknum pejabat. Makanya pihaknya akan terus mengawal kasus ini dengan membawa ke Kejaksaan Agung. Demi penegakan supremaai hukum di masyarakat. //sik




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close