WARTAJOGLO, Yogyakarta - Bagi sebagian besar masyarakat, galantin mungkin sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Sebab meski makanan ini pada awalnya berasal dari luar negeri, namun saat ini sudah banyak disajikan sebagai bagian dari makanan khas daerah tertentu. Salah satunya di Kota Solo yang dikenal ada hidangan sup galantin dan selat.
Di Solo, sup galantin dan selat pada awalnya merupakan hidangan mewah yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat golongan kelas atas. Karenanya hidangan inipun biasanya akan menjadi salah satu sajian pilihan dalam sebuah pesta, baik itu pernikahan atau yang lainnya. Meski seiring berjalannya waktu, masyarakat umum bisa menikmatinya karena sudah banyak yang menjualnya secara bebas di rumah-rumah makan.
Galantin sendiri merupakan jenis makanan yang dibuat dari olahan daging giling, baik itu daging sapi, ayam maupun ikan. Sepintas makanan yang satu ini bisa dikatakan mirip dengan sosis. Hanya saja ukurannya jauh lebih besar serta tentunya racikan bumbu dan cara pengolahannya agak berbeda.
Galantin Cokro |
Berbeda dengan warga Solo yang sudah begitu akrab dengan galantin, di Yogyakarta makanan ini tidak terlalu populer. Kalaupun ada, galantin masih tetap bertahan sebagai makanan mewah yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat tertentu saja. Karena itu jarang ditemukan ada rumah makan atau restoran yang menyajikan hidangan galantin.
Hal inilah yang lantas menggelitik hati dan pikiran Titik Istiarti, wanita asal Kota Gede Yogyakarta untuk mempopulerkan galantin. Diapun mencoba membuat galantin yang diolahnya dari daging ayam, dan lantas dijual di sekitar rumah dan juga pasar.
Dan ternyata sambutannya sungguh di luar dugaan. Sebab banyak warga yang langsung suka dengan galantin buatan Titik. Hingga bersama sang suami R. Sutomo, tiap hari Titik mampu menjual puluhan bungkus galantin.
"Jujur saja semua berawal dari pandemi, yang memaksa saya untuk memutar otak agar tetap bisa bertahan di tengah krisis. Hingga akhirnya terpikirlah untuk membuat galantin. Alasannya sederhana, saya salah satu penyuka galantin. Lalu makanan ini di sini (Yogya) terbilang mewah dan tidak semua orang memakannya. Sehingga tidak salah juga kalau misal saya membuat makanan ini, untuk bisa dinikmati oleh banyak orang Yogya," jelas Titik kepada Wartajoglo.com.
Titik pun memutuskan untuk membuat galantin dengan bahan daging ayam. Sebab selain lebih murah, daging ayam juga lebih banyak disukai. Tak hanya itu, citarasa khas masakan Yogya yang agak manis gurih juga tetap dilekatkan. Sehingga dengan begitu galantin buatannya juga lebih mudah diterima pasar.
Titik Istiarti menyajikan galantin Cokro buatannya |
Dikemas dalam bungkusan daun pisang, galantin buatan Titik bisa langsung dinikati dengan cara digoreng ataupun dibuat campuran sup dan semur. Rasa bumbu yang kuat membuat galantin ini juga sudah enak, saat hanya dinikmati dengan sepiring nasi hangat.
Pesan Moral
Merek Cokro lantas diambil untuk produk buatannya. Hal ini juga bukan tanpa alasan. Ibu dua orang anak inipun menyebut bahwa Cokro adalah nama kakeknya yang selalu memberikan wejangan agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi kehidupan.
"Saya merasa ada motivasi di balik kata Cokro ini. Namun selain itu, Cokro ini juga merupakan singkatan dari Cocok Karo Rasane (cocok dengan rasanya). Sebab dalam pembuatannya saya mengutamakan kualitas. Jadi meskipun harganya terjangkau, rasanya tetap benar-benar terjaga," ungkapnya.
Ditambahkan pula bahwa selain tidak mudah menyerah, mendiang sang kakek juga selalu berpesan untuk selalu ringan tangan membantu orang-orang yang membutuhkan. Karenanya tak jarang Titik harus rela memangkas harga galantinnya hingga mendekati ambang batas, hanya karena permintaan pedagang yang ingin menjual kembali galantin buatannya.
"Kadang ada ibu-ibu yang memelas dan ingin agar harganya dipotong lagi, karena belum dapat pembeli dari pagi. Akhirnya karena kasihan ya saya beri harga yang sebenarnya sudah sangat ngepres. Tapi nggak papa lah. Yang penting saya masih dapat untung dan bisa buat muter lagi. Intinya kita harus saling bantu. Tahu sendirilah, saat pandemi ini banyak orang yang benar-benar terpuruk secara ekonomi. Jadi sebisa mungkin kita bahu membahu untuk bangkit bersama," tandas Titik.
Kini setelah hampir setahun membuat galantin, pelanggannya juga semakin banyak. Apalagi seiring perkembangan teknologi, dirinya juga memanfaatkan metode penjualan secara online melalui marketplace dan media sosial. Sehingga produk galantinnya semakin luas dikenal orang.
Namun demikian Titik mengaku masih membatasi lingkup penjualan galantinnya. Di mana dia hanya mampu melayani pembeli yang dekat-dekat saja. Sebab galantin buatannya diolah tanpa bahan pengawet. Sehingga hanya mampu bertahan selama 2 hari di suhu kamar atau maksimal satu minggu bila disimpan di kulkas.
"Sejauh ini saya memang baru bisa melayani yang dekat-dekat. Dan beberapa kali pesanan dari luar pulau belum berani saya layani, karena khawatir nanti barangnya sampai sana sudah tidak layak konsumsi. Ya semoga saja ke depan bisa membeli mesin vacum, agar galantin ini bisa lebih awet saat dikirim ke tempat yang jauh," tandasnya. //Sik