![]() |
Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhomardowo Keraton Yogyakarta, KPH Notonegoro berorasi di acara closing peringatan Hari Tari Dunia |
WARTAJOGLO, Solo - "Kalau kita ingin memengaruhi dunia ini supaya menjadi lebih baik, teruslah menari."
Kalimat itu mengalun kuat dari Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, S.Sos., M.A., dalam Orasi Budaya yang mengakhiri kemegahan acara 24 Jam Menari ISI Solo.
Bertempat di Teater Terbuka ISI Solo, perayaan Hari Tari Dunia tahun ini mengusung tema yang sarat makna: “Land of Thousand Kingdoms.”
Sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhomardowo Keraton Yogyakarta, Kanjeng Noto tak hanya berbicara soal gerak tubuh di atas panggung.
Ia mengajak seluruh hadirin untuk menyelami makna terdalam dari menari, yakni mencapai harmoni.
Menurut Kanjeng Noto, menari adalah perjalanan panjang yang dimulai dari olah tubuh, lalu merambat pada olah pikir, dan berpuncak pada olah rasa.
"Kalau kita sudah lepas dari masalah ketubuhan, selesai dengan urusan fokus, kita akan masuk pada momen di mana kita tidak lagi berpikir," ujarnya.
Di titik ini, tubuh digerakkan oleh energi yang sulit dijelaskan, kondisi di mana penari berdamai dengan dirinya, lingkungannya, bahkan dengan hidup itu sendiri. Di sinilah, harmoni lahir.
Namun, mencapai titik ini bukanlah perkara mudah. Kanjeng Noto menyebutnya sebagai momen yang langka namun patut dijaga, karena dalam harmoni itulah manusia bisa menemukan keseimbangan sejati.
Orasi ini bukan hanya refleksi pribadi, tetapi juga panggilan untuk memperluas nilai-nilai luhur tari.
Dalam konteks sosial yang penuh pertentangan, tari mengajarkan kita untuk menyatu, bukan memisah. Untuk menyelaraskan diri dengan irama dan sesama, bukan untuk mendominasi.
KPH Notonegoro bahkan menyarankan agar perayaan seperti 24 Jam Menari tidak hanya menjadi milik Solo, tetapi dikembangkan secara massif di berbagai daerah.
“Dengan digelar di banyak tempat, kita akan melatih generasi muda untuk mengolah tubuh, pikiran, dan rasa. Kelak mereka akan menjadi pemimpin yang membawa keselarasan,” tuturnya.
Catatan panitia menunjukkan antusiasme luar biasa. Sebanyak 89 kontingen dari berbagai penjuru Indonesia, dua kelompok internasional dari Malaysia dan Thailand, empat perwakilan keraton, tujuh komunitas tari, serta dua puluh ribu lebih penari dan pendukung acara terlibat dalam gelaran yang telah berlangsung selama 19 tahun dan akan memasuki dekade keduanya.
Dari pagi hingga pagi berikutnya, gerak tubuh tidak berhenti. Musik terus mengalun. Energi tidak surut. Dan di tengah segala keragaman—usia, etnis, tradisi, bahkan negara—tarian menjadi bahasa pemersatu.
Apa yang ditawarkan 24 Jam Menari bukan sekadar tontonan artistik, tetapi sebuah pelajaran hidup.
Menari Menuju Harmoni, Refleksi Budaya dari Panggung Hari Tari Dunia ISI Solo https://t.co/Mji9Ob6cQG
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) May 1, 2025
Ketika tubuh dan jiwa menyatu dalam gerak, manusia belajar tentang kehadiran, kesadaran, dan kebersamaan.
Seperti yang ditegaskan oleh Kanjeng Noto: menari adalah cara untuk berdamai—dengan diri, dengan dunia, dengan kehidupan.
"Dan di tanah ribuan kerajaan ini, kita pun tahu, harmoni bukan utopia. Ia bisa dicapai, bahkan dirayakan, melalui setiap langkah tari," pungkasnya. //Her