![]() |
Pola asuh "Tiger Parenting" kerap kali membatasi kreatiftas anak |
WARTAJOGLO - Di tengah kompetisi global yang semakin ketat, banyak orang tua berlomba-lomba memastikan anak-anak mereka tumbuh menjadi individu yang sukses.
Namun, dalam upaya mencapai tujuan tersebut, muncullah fenomena Tiger Parenting atau pola asuh harimau — sebuah pendekatan pengasuhan yang sangat ketat dan penuh kontrol.
Dalam Tiger Parenting, standar yang ditetapkan oleh orang tua begitu tinggi, terutama dalam bidang akademis dan kedisiplinan.
Anak-anak diharuskan menghabiskan berjam-jam untuk belajar atau berlatih keterampilan tertentu seperti musik, tanpa ruang untuk bermain, bersantai, atau bahkan mengeksplorasi minat pribadi.
Jika gagal memenuhi ekspektasi, hukuman fisik maupun psikologis sering kali menjadi konsekuensi.
Gaya ini mendapatkan perhatian luas setelah Amy Chua menerbitkan bukunya yang kontroversial, "Battle Hymn of the Tiger Mother".
Dalam buku tersebut, ia menjelaskan aturan keras yang diterapkannya pada anak-anaknya, seperti larangan menginap di rumah teman, menonton TV, hingga harus selalu menjadi yang terbaik di sekolah.
Buku ini memicu debat global tentang batas antara keinginan baik orang tua dan tekanan emosional yang mungkin timbul.
Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Anak?
Meskipun tujuan utama Tiger Parenting adalah membentuk anak yang berprestasi dan disiplin, penelitian menunjukkan bahwa efek jangka panjang dari gaya pengasuhan ini bisa justru merugikan.
Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini rentan mengalami kecemasan, depresi, serta harga diri yang rendah.
Sebuah studi tahun 2018 di Singapura mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa anak-anak dengan orang tua yang terlalu kritis dan menuntut, memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
Selain itu, mereka juga cenderung berkembang menjadi pribadi perfeksionis yang mudah putus asa saat menghadapi kegagalan.
Alih-alih melihat kegagalan sebagai peluang pembelajaran, anak-anak ini justru takut salah karena kesalahan bisa berarti kekecewaan bagi orang tua.
Kecerdasan emosional mereka pun bisa terganggu, terlebih jika rasa malu atau rasa bersalah digunakan sebagai alat hukuman.
Karena fokus utama Tiger Parenting adalah pencapaian akademis dan prestasi eksternal, seringkali anak tidak lagi memiliki waktu untuk bereksplorasi secara kreatif atau bersosialisasi dengan teman sebaya.
Jadwal padat latihan piano, les tambahan, dan bimbingan belajar membuat hobi, pertemanan, dan waktu bermain menjadi korban.
Akibatnya? Anak-anak mungkin tumbuh menjadi individu yang sangat terampil dalam bidang tertentu, tetapi kurang mampu berinteraksi sosial atau mengungkapkan diri secara kreatif.
Lebih parah lagi, minimnya otonomi dalam hidup mereka dapat melemahkan kemampuan pengambilan keputusan dan motivasi intrinsik — mereka melakukan sesuatu hanya untuk menyenangkan orang tua, bukan karena gairah atau minat pribadi.
Banyak orang tua yang menganut Tiger Parenting berasal dari latar belakang di mana kegagalan bisa berarti konsekuensi serius, seperti kemiskinan, diskriminasi, atau ketidakadilan struktural.
Bagi mereka, kesuksesan akademis adalah bentuk perlindungan untuk masa depan anak.
Namun, pola ini juga bisa merupakan respons atas trauma masa lalu atau ketakutan akan dunia luar yang kompetitif.
Sayangnya, meski niat awalnya baik, hubungan emosional antara orang tua dan anak bisa menjadi renggang.
Anak mungkin merasa dicintai hanya jika berhasil memenuhi target, sehingga mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan keraguan diri.
Para ahli menyarankan agar orang tua tetap bisa menetapkan standar tinggi, tetapi dengan tetap memberikan dukungan emosional yang cukup.
Anak perlu merasa dicintai tanpa syarat, bukan hanya ketika mereka mendapat nilai A atau juara umum.
Penting bagi orang tua untuk mendengarkan perasaan anak, memberi ruang untuk mengeksplorasi minat, dan membiarkan mereka membuat kesalahan.
Hal ini membantu anak mengembangkan harga diri yang sehat, motivasi internal, serta keterampilan sosial dan emosional yang penting untuk hidupnya.
Jika sudah terlanjur terpapar dampak negatif Tiger Parenting, terapi psikologis bisa menjadi langkah pemulihan.
Terapi membantu anak (dan orang tua) mengatasi rasa cemas, depresi, atau bahkan amarah yang tertahan akibat pola asuh yang terlalu menekan.
Pola asuh harimau mungkin menghasilkan anak-anak yang disiplin dan berprestasi, tetapi cinta tidak seharusnya datang dalam bentuk tekanan, ancaman, atau rasa takut.
Setiap anak unik, dan keberhasilan tidak selalu diukur dari nilai rapor atau trofi.
Tiger Parenting bisa Picu Anak Gagal Berprestasi, Ini Penyebabnya https://t.co/CnkX2Tngl0
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) May 26, 2025
Yang terpenting adalah bagaimana anak merasa aman, dicintai, dan didukung untuk menjadi versi terbaik dirinya sendiri — bukan versi impian orang tua.
Karena pada akhirnya, kesuksesan sejati dimulai dari hati yang hangat, bukan dari paksaan. //Bbs