TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Vasektomi sebagai Syarat Bansos, Solusi atau Masalah Baru untuk Atasi Kemiskinan..?

Kemiskinan masih menjadi tantangan struktural di Indonesia

WARTAJOGLO, Solo - Kemiskinan masih menjadi tantangan struktural di Indonesia. Meski berbagai program dan strategi telah digulirkan pemerintah, memutus rantai kemiskinan tetap menjadi pekerjaan rumah besar. 

Di tengah upaya mencari solusi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan pendekatan yang menuai kontroversi, yakni menjadikan vasektomi atau program Keluarga Berencana (KB) pria sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos) dan beasiswa.

Vasektomi, sebuah prosedur kontrasepsi dengan memotong dan menyegel saluran sperma, dinilai Dedi sebagai salah satu cara efektif untuk mengendalikan angka kelahiran—yang menurutnya berkorelasi langsung dengan tingginya angka kemiskinan.

Namun, pendekatan ini memicu perdebatan luas. Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menyatakan bahwa langkah Dedi Mulyadi tampaknya merujuk pada teori pertumbuhan populasi dari Robert Malthus. 

Teori klasik itu menyebut pertumbuhan penduduk meningkat secara geometrik (cepat), sementara ketersediaan pangan hanya tumbuh secara aritmetik (lambat). 

Akibatnya, akan terjadi rebutan sumber daya jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan.

Meski begitu, Anton mengkritisi penerapan teori tersebut secara mentah. Menurutnya, teori Malthus mengabaikan inovasi dan kemajuan teknologi yang justru mampu meningkatkan produktivitas pangan dan efisiensi distribusi sumber daya.

“Secara teoritis vasektomi bisa digunakan untuk mengendalikan jumlah penduduk dalam rangka mengurangi angka kemiskinan,” kata Anton. “Namun, menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial bukanlah langkah yang bijak.”

Anton menegaskan bahwa kemiskinan adalah masalah multidimensi yang tidak cukup diselesaikan hanya dengan pengendalian populasi. 

Sebaliknya, ia mendorong pendekatan yang lebih manusiawi dan partisipatif, seperti penyuluhan intensif mengenai KB dan pemberdayaan masyarakat lewat pendidikan.

“Daripada menggunakan pendekatan koersif, lebih baik mendorong kesadaran masyarakat miskin itu sendiri,” ujar Anton. 

Ia juga menyarankan pemerintah lebih fokus pada pemberian beasiswa, pembangunan sekolah di daerah terpencil, dan peningkatan kualitas guru sebagai langkah nyata untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Anton juga mengomentari pembandingan yang sering dilakukan warganet antara Indonesia dan Cina dalam hal pengendalian populasi. 

Meski Cina sempat menerapkan kebijakan satu anak, menurutnya kemajuan negara itu tidak semata-mata karena jumlah penduduk yang berkurang, melainkan karena reformasi besar-besaran dalam pendidikan, riset, industri, dan teknologi.

“Cina maju karena menata riset, industri, pertanian, serta melakukan transformasi pendidikan yang serius. Mereka kirim cendekiawannya belajar ke luar negeri, dukung dengan beasiswa, lalu diberi dana riset saat kembali. Itu kunci sukses mereka,” ungkap Anton.

Pengalaman pribadi Anton saat menempuh pendidikan di University of Manchester menguatkan pandangannya. 

Ia menyaksikan langsung bagaimana mahasiswa Cina mendominasi bidang STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika) dengan misi strategis membangun negeri mereka.

Dari diskusi ini jelas bahwa solusi jangka panjang pengentasan kemiskinan bukanlah melalui pembatasan populasi secara paksa. 

Pendidikan, pemberdayaan, dan inovasi adalah fondasi utama untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan mandiri. //Hum

Type above and press Enter to search.