TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Kesadaran Membayar Royalti Musik Masih Rendah, LMKN Dorong Sosialisasi dan Penegakan Hukum Cepat

Komisioner LMKN Waskito menyerahkan sertfikat pembayaran royalti kepada pengelola Gedung Joeang 45 Solo, Wening Damayanti, usai pelaksanaan sosialisasi tentang Hak Cipta yang digelar pada 8 Agustus 2025

WARTAJOGLO, Solo - Isu mengenai pembayaran royalti musik kembali menjadi sorotan publik setelah Direktur PT Mitra Bali Sukses, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka dugaan pelanggaran hak cipta. 

Perusahaan yang memegang merek Mie Gacoan di wilayah Bali dan luar Pulau Jawa itu diduga menggunakan musik dan lagu di gerai-gerai tanpa membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Aturan mengenai royalti sendiri sudah jelas tertuang dalam Keputusan Menkumham Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yang menetapkan tarif royalti untuk usaha kuliner bermusik berdasarkan jumlah kursi per tahun. Hal ini termasuk kafe dan restoran.

Namun, meski regulasi sudah ada, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan.

Komisioner Bidang Keuangan dan Distribusi LMKN, Waskito, mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan pelaku usaha membayar royalti masih sangat rendah. 

Dari 13 sektor bisnis yang wajib membayar royalti, ia memperkirakan hanya sekitar 2 persen yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut.

“Kalau kita hitung, dari Sabang sampai Merauke, jumlah pengguna musik untuk bisnis itu sangat besar. Tapi yang membayar belum sampai 6.000 pengguna. Artinya, kesadarannya masih sangat minim,” ujar Waskito saat ditemui dalam acara Sosialisasi tentang Hak Cipta yang digelar LMKN di Gedung Djoeang 45 Solo, pada Jumat 8 Agustus 2025.

Menurutnya, rendahnya kesadaran ini terjadi karena selama puluhan tahun pelaku usaha terbiasa menggunakan musik secara bebas tanpa kewajiban finansial. 

"Ketika aturan mulai ditegakkan, banyak yang merasa terbebani," lanjut Waskito.

Selain faktor kesadaran, Waskito menilai kurangnya sosialisasi menjadi penyebab lain. 

Informasi tentang tata kelola royalti belum tersebar merata, salah satunya karena keterbatasan biaya sosialisasi. 

Padahal, regulasi terkait hak cipta di Indonesia sudah ada sejak UU Nomor 6 Tahun 1982, kemudian diperbarui melalui UU Nomor 19 Tahun 2002, hingga revisi terakhir menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014.

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta masih memakan waktu lama. 

Proses hukum yang berlarut-larut sering kali membuat nilai royalti yang dipersoalkan menjadi tidak sepadan dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan.

Karenanya agar penegakan hukum lebih efektif, Waskito mengusulkan mekanisme peradilan cepat, mirip penanganan pelanggaran lalu lintas. 

“Harusnya penanganannya mirip kalau kita kena tilang. Hari itu disidang, hari itu diputuskan, bayar. Kalau tidak bayar, izin operasional bisa dicabut. Dengan begitu, efeknya akan langsung terasa,” katanya.

LMKN bersama pemerintah berkomitmen terus menggencarkan sosialisasi kepada pelaku usaha di berbagai sektor, khususnya hotel, restoran, kafe, karaoke, dan tempat wisata.

“Yang kami upayakan adalah menumbuhkan kesadaran bahwa musik itu bagian dari proses bisnis mereka. Jadi wajar kalau penciptanya mendapatkan haknya,” tegas Waskito.

Jika kesadaran ini tumbuh, diharapkan ke depan pelanggaran hak cipta bisa ditekan, dan para pencipta lagu mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka. 

Sebab musik bukan sekadar hiburan, tetapi aset kreatif yang memiliki nilai ekonomi dan patut dijaga keberlangsungannya. 

Di akhir acara, Waskito menyerahkan sertifikat tanda bukti pembayaran royalti penyelenggaraan acara sosialisasi LMKN tersebut kepada pengelola Gedung Joeang 45, Wening Damayanti.

"Ini membuktikan bahwa untuk penyelenggaraan acara ini, kami juga membayar royalti, karena ada hiburan musik di dalamnya," pungkas Waskito.  //Sik

Type above and press Enter to search.