![]() |
WARTAJOGLO, Jakarta - Laporan World Giving Report (WGR) 2025 yang baru dirilis membawa kejutan dalam lanskap global kedermawanan.
Nigeria dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia, mengalahkan banyak negara maju dengan rata-rata donasi mencapai 2,83% dari pendapatan per kapita.
Lebih mengejutkan lagi, lima dari sepuluh negara paling dermawan di dunia berasal dari Afrika, menunjukkan bahwa semangat berbagi tak selalu datang dari negara kaya, tetapi justru tumbuh kuat di negara-negara berkembang.
Sementara itu, Indonesia yang sebelumnya kerap menempati posisi puncak dalam indeks kedermawanan global, kini harus puas di peringkat ke-21 dari 101 negara yang disurvei.
Meski demikian, Indonesia tetap mencatatkan tingkat donasi sebesar 1,55% dari pendapatan masyarakat, melampaui rata-rata global (1,04%) dan mengungguli negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Berbeda dari pendahulunya, World Giving Index (WGI), laporan WGR 2025—yang disusun oleh Charities Aid Foundation (CAF) menggunakan pendekatan baru yang lebih dalam dan inklusif.
WGR menilai tiga bentuk jalur pemberian: kepada individu langsung, lembaga amal atau organisasi sosial, dan entitas keagamaan.
Survei ini juga mengukur besaran donasi dibandingkan pendapatan responden, serta motivasi dan tingkat kepercayaan terhadap lembaga sosial dan pemerintah.
Secara global, 64% responden mengaku pernah menyumbang dalam bentuk uang sepanjang 2024.
Sebanyak 40% di antaranya memilih memberi langsung kepada individu atau keluarga yang membutuhkan, mencerminkan kuatnya solidaritas sosial dalam bentuk paling sederhana.
Afrika, sebagai benua, mencatat donasi tertinggi dengan rata-rata 1,54% dari pendapatan, jauh di atas Eropa yang hanya 0,64%.
Di Indonesia, meskipun posisi turun dibanding laporan sebelumnya, data WGR tetap menunjukkan kekuatan budaya kedermawanan.
Mayoritas donasi diberikan langsung kepada individu atau melalui organisasi keagamaan dan lembaga amal, mencerminkan beragamnya jalur pemberian masyarakat Indonesia.
Masyarakat juga cenderung menyumbang ke berbagai tujuan, rata-rata 3 hingga 4 program, dengan pengentasan kemiskinan, perlindungan anak, dan bantuan kemanusiaan menjadi yang paling banyak didukung.
Menurut Hamid Abidin, peneliti dari PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), penurunan peringkat Indonesia lebih disebabkan oleh metodologi baru yang digunakan dalam WGR.
Perbedaan pendekatan yang mengedepankan nilai donasi dan proporsinya terhadap pendapatan—bukan hanya frekuensi—membuat banyak negara berkembang seperti Mesir, Tiongkok, Ghana, dan Kenya menanjak ke posisi atas.
“Perubahan ini memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang potensi kedermawanan, bukan hanya seberapa sering orang memberi, tapi juga seberapa besar mereka rela berbagi dari penghasilannya,” ujar Hamid.
WGR 2025 juga menyoroti pentingnya kepercayaan terhadap lembaga filantropi.
Data menunjukkan bahwa di negara-negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap lembaga sosial, masyarakat cenderung memberi lebih banyak dan lebih aktif terlibat sebagai relawan.
Negara-negara Afrika memimpin dalam hal ini, termasuk dalam hal kerelawanan, dengan rata-rata 14 jam 30 menit per orang per tahun, dibandingkan Eropa yang hanya sekitar 6,5 jam.
Secara global, motivasi utama masyarakat memberi adalah karena kepedulian terhadap isu sosial (65%), diikuti oleh kewajiban moral (31%), dan motivasi agama (29%).
Menariknya, donatur yang didorong oleh agama memberikan sumbangan dua kali lebih besar, serta mendukung lebih banyak tujuan.
WGR juga menegaskan bahwa peran pemerintah sangat menentukan. Di 42 negara yang aktif mendorong filantropi melalui regulasi dan insentif, tingkat donasi rata-rata mencapai 1,7 kali lebih tinggi dibanding negara lain.
Meski punya modal budaya yang kuat, Hamid menilai Indonesia belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi kedermawanannya.
Ia menyoroti beberapa kendala seperti regulasi yang usang dan minimnya insentif pajak untuk donasi.
“Undang-Undang 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) masih jadi rujukan, padahal sudah sangat tidak relevan dengan kondisi filantropi modern,” ujarnya.
Laporan World Giving Report 2025, Nigeria Negara Paling Dermawan, Indonesia Turun Peringkat, Kenapa..? https://t.co/2P2e3xmSWK
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) August 3, 2025
Hamid juga menyoroti kebijakan insentif pajak yang tertinggal jauh dibanding negara lain, termasuk di Asia Tenggara.
Ia menekankan bahwa dengan revisi kebijakan yang mendukung, Indonesia bisa menjadi pemimpin filantropi di Asia Tenggara, sekaligus menjadi contoh global bagaimana negara berkembang bisa menggabungkan tradisi sosial dan inovasi digital dalam membangun ekosistem kedermawanan berkelanjutan. //Kls