![]() |
Wagub Jateng memberi sambutan dalam acara Halaqah Pesantren Ramah Anak, Aman dan Sehat |
WARTAJOGLO, Semarang – Di balik berbagai pandangan positif yang melekat, pesantren juga menyimpan tantangan, yakni bagaimana menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan bagi para santrinya.
Inilah yang mendorong lahirnya program Pondok Pesantren Ramah Anak, sebuah inisiatif yang digagas Kanwil Kemenag Jateng bersama Unicef, LPA Klaten, serta berbagai pihak.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyatakan dukungannya penuh, dengan target besar menjadikan Jawa Tengah sebagai provinsi zero bullying.
Wakil Gubernur Jateng, Taj Yasin Maimoen, mengaku bersyukur langkah ini sudah dimulai. Baginya, pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi juga rumah kedua bagi lebih dari 520 ribu santri di Jawa Tengah.
“Kalau sekolah sudah dituntut zero bullying, maka pondok pesantren juga harus begitu. Pesantren harus ramah anak, ramah perempuan, dan ramah difabel,” kata Gus Yasin dalam Halaqah Pesantren Ramah Anak, Aman dan Sehat, di Asrama Haji Transit Komplek Islamic Center, Kota Semarang, Rabu, 27 Agustus 2025.
Ia menegaskan, keberadaan Satgas Pesantren Ramah Anak akan menjadi garda depan. Mereka akan menyosialisasikan nilai anti perundungan, sekaligus menekan angka pernikahan dini yang masih tinggi.
Pesantren selama ini dikenal kuat dengan tradisi kedisiplinannya. Namun, tantangan zaman menuntut pesantren menyesuaikan diri.
Kasus perundungan di kalangan anak-anak di Jawa Tengah masih tinggi, mencapai 1.349 kasus pada 2024. Januari–Juli 2025, sudah tercatat 867 kasus.
“Memang dalam fikih, menikah di usia muda tidak dilarang. Tetapi realitanya, anak-anak belum siap secara fisik dan mental. Inilah yang harus kita jaga,” ucap Gus Yasin, menyinggung masih tingginya pernikahan anak, yang mencapai 7.903 kasus pada 2024.
Kepala Perwakilan Unicef Wilayah Jawa, Arie Kurnia, menuturkan bahwa pesantren punya potensi luar biasa sebagai pelopor pendidikan ramah anak. Program ini menyasar para pengasuh, guru, santri, hingga orang tua.
“Harapannya, seperti sekolah ramah anak atau kota layak anak, pesantren juga punya budaya ramah anak. Santri bukan hanya belajar kitab, tetapi juga bisa menjadi peacemaker, duta anti kekerasan,” ujarnya.
Bahkan, Arie berharap pada 2026 nanti ada santri asal Jawa Tengah yang mewakili Indonesia di forum anak dunia sebagai duta perdamaian.
Bagi santri, pesantren adalah rumah. Tempat mereka tumbuh, belajar, bermain, sekaligus menempa diri.
Itulah mengapa program ini disambut sebagai angin segar: pesantren tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu agama, tapi juga ruang aman untuk membangun mimpi.
Targetkan Zero Bullying, Jawa Tengah Canangkan Program Pesantren Ramah Anak https://t.co/wGiqj082hC
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) August 28, 2025
Jika program ini berhasil, wajah pesantren di Jawa Tengah akan semakin inklusif, transparan, dan ramah bagi siapa saja.
Santri tidak lagi takut mengalami perundungan, orang tua pun semakin percaya menitipkan anaknya, dan pesantren bisa tetap menjadi pusat lahirnya generasi unggul – bukan hanya untuk bangsa, tetapi juga untuk dunia. //Sk