TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Merevitalisasi Kertas Gendhong untuk Penguatan Tradisi Literasi Pesantren

Tim ISI Solo menghidupkan kembali kertas tradisional Gendhong, warisan pesantren Tegalsari yang pernah menjadi pusat intelektual Islam pada abad ke-18 hingga ke-20

WARTAJOGLO, Ngawi - Di tengah derasnya arus digitalisasi, sekelompok akademisi dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta memilih jalan sebaliknya yakni kembali ke akar sejarah literasi Nusantara. 

Mereka menghidupkan kembali kertas tradisional Gendhong, warisan pesantren Tegalsari yang pernah menjadi pusat intelektual Islam pada abad ke-18 hingga ke-20.

Melalui program bertajuk “Revitalisasi Kertas Tradisional Gendhong: Penerapan Inovasi Cetak Serat sebagai Media Seni Kaligrafi pada Komunitas Askya sebagai Penguatan Tradisi Literasi Pesantren”, tim pengabdian ISI Solo berupaya menyambung kembali benang sejarah antara seni kaligrafi, tradisi pesantren, dan inovasi material seni.

Program ini dilaksanakan di Dusun Bulu, Desa Ploso, Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi, melibatkan Komunitas Kaligrafi Askya, Pondok Pesantren Yukminuuna Bil Ghoibi, serta mahasiswa Program Studi Kriya ISI Solo sebagai tim fasilitator dan dokumentator.

Kertas tradisional Gendhong dahulu dibuat dari serat pohon glugu (pohon kelapa), menjadi medium utama penulisan naskah-naskah pesantren klasik. 

Namun seiring waktu, praktik pembuatannya nyaris punah, tergantikan oleh kertas industri modern dan impor.

Akibatnya, karya kaligrafi pesantren kehilangan sentuhan historis dan spiritual yang dulu menjadi ruh penulisan ilmiah para ulama Jawa.

Ketua Tim PISN ISI Solo, Gayuh Styono, S.Sn., M.Sn., menuturkan bahwa penelitian timnya menemukan potensi besar dari inovasi teknik “cetak serat glugu”, sebuah metode baru yang membuat kertas tradisional lebih efisien, tahan lama, dan ramah lingkungan.

“Kami ingin mengembalikan praktik tradisi kertas Gendhong dalam bentuk yang relevan dengan zaman. Kertas ini bukan hanya media tulis, tetapi juga simbol identitas literasi pesantren yang berakar kuat dalam sejarah keilmuan Nusantara,” ujar Gayuh.

Program ini berakar dari dua riset terdahulu yang telah menghasilkan karya cipta inovatif, yakni "Rerenggan Pinandito Nggayuh Lintang Material Kertas Gedhog" (Hak Cipta No. EC002024211339), dan "Seni dan Budaya Tradisi dalam Perspektif Ekonomi Kreatif" (Hak Cipta No. EC00202473413).

Berangkat dari hasil penelitian tersebut, tim ISI Solo melaksanakan tujuh rangkaian kegiatan, mulai dari sosialisasi, pelatihan teknik produksi kertas berbasis serat glugu, workshop kaligrafi, lokakarya seni, hingga pameran dan evaluasi.

Tim pelaksana terdiri dari Arfiati Nurul Komariah, S.Sn., M.Sn. (pengembang program dan pelatihan), Dr. Angga Kusuma Dawami, S.Sn., M.Sn. (dokumentasi dan analisis sosial-budaya), serta Ageng Satria Pamungkas, M.Pd. (penyusun modul dan jejaring).

Kolaborasi dengan Komunitas Kaligrafi Askya yang dipimpin Joko Santoso, S.Ag., menghadirkan suasana pembelajaran yang bukan sekadar teknis, melainkan juga spiritual dan reflektif.

“Kami merasa bangga bisa kembali mengenal media tulis tradisional yang dulu digunakan para ulama. Proses ini membuka wawasan baru tentang nilai spiritual dan estetika kaligrafi,” tutur Joko Santoso.

Kegiatan ini juga disinergikan dengan Pondok Pesantren Yukminuuna Bil Ghoibi dan Dr. Imam Muttaqin, M.Pd. sebagai mitra akademik. 

Ke depan, mereka akan menandatangani MoA dan IA untuk memastikan keberlanjutan pengembangan kertas Gendhong sebagai media inovasi seni pesantren.

Langkah ini merupakan kelanjutan dari kerja sama sebelumnya di Desa Tegalsari, Ponorogo, yang menjadi laboratorium konservasi kertas Gendhong. 

Kini, Ngawi dikembangkan sebagai laboratorium inovasi, menambahkan unsur teknologi cetak serat, pewarnaan alami, dan aplikasi artistik dalam kaligrafi.

Program ini berdampak luas di tiga ranah yakni secara sosial bisa membangun studio komunitas sebagai ruang edukasi budaya dan literasi pesantren.

Lalu secara ekonomi bisa menciptakan peluang usaha baru dari produksi kertas dan pameran seni.

Dan secara kultural-nasional bisa memperkuat pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia, sejalan dengan SDGs Goals 1, 4, 11, dan 12, serta visi Asta Cita dalam penguatan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.

“Revitalisasi ini bukan sekadar pelestarian, tetapi transformasi nilai. Kami ingin membuktikan bahwa seni tradisi mampu hidup kembali dalam konteks inovasi dan pemberdayaan,” tegas Dr. Angga Kusuma Dawami.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) 2025, yang didukung oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ISI Solo, serta Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM), Ditjen Diktiristek, Kemendikbudristek.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pondok Pesantren Yukminuuna Bil Ghoibi, Komunitas Kaligrafi Askya, dan seluruh pihak yang berperan dalam keberhasilan program ini. //Bang

Type above and press Enter to search.