TfG6TUW8BUO7GSd6TpMoTSd7GA==
,, |

Headline News

Memangkas Rantai Pangan Sehat untuk Sekolah dengan Kolaborasi Antara Urban dan Peri-Urban

Yayasan Gita Pertiwi menggelar forum diskusi dengan tema "Membangun Kerja Sama Urban dan Peri-Urban untuk Suplai Pangan Sehat di Sekolah"

WARTAJOGLO, Solo - Keterbatasan lahan pertanian tidak lagi menjadi alasan bagi Kota Surakarta untuk menyerah dalam urusan pangan sehat bagi anak sekolah. 

Justru dari keterbatasan itulah lahir sebuah gagasan kolaboratif membangun kerja sama antara wilayah urban dan peri-urban untuk memastikan suplai pangan sehat, aman, dan berkelanjutan bagi sekolah-sekolah di Kota Solo.

Gagasan tersebut mengemuka dalam forum diskusi dengan tema "Membangun Kerja Sama Urban dan Peri-Urban untuk Suplai Pangan Sehat di Sekolah" yang digelar Yayasan Gita Pertiwi di Hotel Dana, Solo, Kamis 18 Desember 2025. 

Forum ini menghadirkan pemerintah daerah, akademisi, serta pegiat pangan untuk merespons tantangan ketergantungan pangan Kota Solo terhadap daerah penyangga.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Solo, Wahyu Kristina, menyebut keterbatasan lahan membuat Surakarta harus memperkuat kolaborasi regional. 

“Solo ini kota konsumen. Karena itu, kerja sama dengan daerah peri-urban seperti Sukoharjo dan Boyolali menjadi kunci untuk menjamin ketersediaan pangan sehat bagi anak-anak sekolah,” ujarnya.

Dari sisi daerah penyangga, Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Sukoharjo, Bagas W., menilai kerja sama tersebut membuka peluang ekonomi bagi petani. 

“Jika sekolah mengambil langsung dari petani atau koperasi lokal, maka ada kepastian pasar bagi petani sekaligus rantai distribusi menjadi lebih efisien,” katanya.

Sementara Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, menjelaskan bahwa pendampingan kantin sekolah telah dilakukan sejak 2019 bersama Pemerintah Kota Solo. 

Program ini berangkat dari temuan tingginya angka kegemukan dan obesitas siswa. 

“Awalnya angkanya mencapai 38 persen. Setelah enam tahun pendampingan, kami berhasil menurunkannya menjadi sekitar 31 persen di tahun 2025,” jelas Titik.

Menurut Titik, kunci keberhasilan terletak pada pembenahan rantai pasok pangan. Ia menyoroti praktik distribusi panjang yang selama ini terjadi. 

“Kami ingin memotong ‘wisata pangan’. Jika sekolah disuplai langsung oleh petani lokal, kualitas lebih segar dan harga lebih adil bagi semua pihak,” tegasnya.

Praktik kerja sama urban–peri-urban ini mulai dirasakan manfaatnya di sekolah. Sejumlah sekolah di Solo kini rutin memesan bawang merah dari kelompok tani milenial Sukoharjo serta sayuran dari Boyolali. 

Model ini juga mampu menyelamatkan sekitar 50 ton pangan berlebih per tahun yang masih layak konsumsi.

Akademisi P4GKM Universitas Sebelas Maret, Winny Swastike, mengingatkan bahwa integrasi suplai harus dibarengi pengawasan keamanan pangan. 

“Tantangan kantin sekolah saat ini masih tingginya gula, garam, dan lemak, serta lemahnya ketelusuran pangan. Banyak makanan masuk sekolah tanpa label yang jelas,” ungkapnya.

Winny menegaskan perlunya regulasi yang mengatur standar keamanan dan traceability pangan sekolah. 

“Kalau terjadi masalah, kita harus tahu asal bahan bakunya dari mana. Ini penting untuk melindungi anak-anak,” katanya.

Ke depan, kerja sama urban–peri-urban ini diharapkan dapat dilembagakan melalui kebijakan daerah, sehingga sekolah terhubung langsung dengan produsen pangan di wilayah penyangga. 

Sinergi ini dinilai menjadi fondasi penting dalam menjamin hak anak atas pangan sehat sekaligus menyiapkan generasi sehat menuju Indonesia Emas 2045. //Sik

Type above and press Enter to search.