POPULER

Kalau Pemerintah Tidak Mampu, Pengelolaan SDA Bisa Melibatkan Swasta

Kalau Pemerintah Tidak Mampu, Pengelolaan SDA Bisa Melibatkan Swasta



Pelibatan swasta dalam pengelolaan SDA dipandang perlu untuk menyiasati ketidak mampuan pemerintah, dalam menjangkau kawasan-kawasan sulit. Tapi tetap perlu ada regulasi yang membatasinya, agar tidak terjadi gesekan dengan masyarakat.



 RANCANGAN UU Sumber Daya Air (RUU SDA) yang masih belum di sahkan hingga saat ini diduga sarat kepentingan. Sebab, RUU SDA adalah salah satu yang ditunggu banyak pihak, baik masyarakat maupun dari kalangan industri. RUU SDA juga salah satu yang tertera dalam nomor urut 27 daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2018, namun hingga kini nasibnya belum pasti.

Guru Besar bidang Ilmu Hidrogeologi Vulkanik Fakultas Teknik Geologi yang juga Dekan Fakultas Teknik Geologi Unpad Prof. Hendarmawan melihat molornya RUU SDA itu karena sarat dengan kepentingan. “Kenapa berlarut-larut,  karena di situ juga ada konteks kepentingan,” tuturnya saat ditenui di kantornya beberapa waktu lalu.

Draft RUU SDA yang disusun berdasarkan inisiatif DPR ini terdiri atas 15 bab dan 78 pasal. Dari  604 daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU tersebut yang dihimpun DPR, akhirnya bersama dengan Pemerintah hanya disepakati menjadi 362 DIM yang akan dibahas.

Salah satu yang menjadi polemik adalah isu keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumber daya air. Pasalnya, kehadiran pihak swasta itu juga masih dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur perpipaan air bersih yang harganya relatif mahal. 
Prof. Hendarmawan

“Jadi kalau pemerintah tidak punya uang bisa ke swasta untuk membangun infrastrukturnya. Tapi harganya nanti harus yang terjangkau rakyat, tidak boleh terlalu mahal. Jadi namanya jangan disebut untuk menjual air tapi pemeliharaan pipa,” ujarnya.

Regulasi Yang Jelas
 Soal adanya keterlibatan BUMN dalam pengelolaan air bersih di RUU SDA, Hendarmawan melihat itu sesuatu hal yang sangat normatif karena untuk menunjukkan negara tampil di dalamnya. 

“Itu sah-sah saja. Tapi pada saat yang sama, yang tidak bisa dikuasai oleh BUMN sebaiknya tetap ada kolaborasi dengan swasta. Jadi saran saya sebaiknya di RUU SDA ini tidak usah disebutkan dengan syarat-syarat yang ketat untuk ditawarkan ke swasta,” ucapnya. 

Selain itu, kata Hendarmawan, RUU SDA yang sedang dibahas ini juga berpeluang membuka praktek-praktek korupsi. “Kenapa? Kalau BUMN nanti tidak punya kemampuan untuk melayani akses air bersih masyarakat, lantas daerah-daerah yang tidak terlayani sama siapa. Ini kan menjurus kepada praktek-praktek korupsi,” tukasnya. 

Tidak hanya itu, bisa-bisa pengelolaan air bersih ini juga akan dikuasai pemerintah asing ujung-ujungnya karena ketidakmampuan negara untuk mengelolanya.  “Saya khawatir, UU SDA ini nantinya malah akan menjual sumber daya air kita ke asing.  Apalagi air di Indonesia itu berlimpah,” kata Hendarmawan.

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengemukakan swasta harus diberi peluang untuk mengelola air ‎bersih di dalam negeri, termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan lainnya. Ini untuk mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah dalam menyediakan air bersih. 

Menurutnya, selama ini banyak masyarakat yang sulit mendapatkan air bersih karena anggaran pemerintah yang terbatas untuk penyediaan air, sementara BUMN yang mendapatkan tugas dari pemerintah dalam penyediaan air, juga tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat di banyak wilayah.

“Peran swasta perlu sekali karena anggaran pemerintah terbatas. Negara sama sekali tidak diabaikan karena negara yang mengeluarkan izin. Kalau misalnya swasta macam-macam, cabut saja izinnya. Berdasarkan UUD 45 pasal 33 memang air itu dikuasai oleh negara, tetapi yang dikuasai itu izinnya. Ini orang mau mengusahakan air, mau investasi, masa’ dilarang,” ujarnya.

Dengan masuknya swasta dalam pengelolaan dan penyediaan air bersih, bukan berarti menutup akses masyarakat dalam mendapatkan sumber air yang layak konsumsi. Karena nantinya bisa diatur ada sumber mata air yang tetap dapat diakses langsung masyarakat.

“Alasannya remeh, yaitu karena nanti masyarakat tidak bisa mendapatkan akses air. Lah itu kan bisa diatur. Contohnya air minum dalam kemasan, itu mereka menjaga sekali sumber airnya. Makanya tidak bisa sembarangan. Tapi kalau masyarakat mau ambil dari sumber mata air itu, bisa diatur. Cuma ini kan masalah safety,” pungkasnya. //Rad

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close