WARTAJOGLO, Ponorogo - Dawet Jabung identik dengan penjualnya yang cantik-cantik. Konon hal ini terkait dengan tradisi pencarian jodoh di masyarakat Ponorogo. Benarkah?
Empat orang pemuda serta sopir dari sebuah truk terlihat masuk ke dalam sebuah warung dawet di sekitar perempatan Desa jabung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Dengan senyum manis dan agak manja, seorang gadis cantik yang tak lain adalah penjual dawet di warung itu, segera menyapa dan mempersilahkan mereka untuk duduk.
“Monggo, Mas. Silahkan duduk!” sapanya.
Semangkuk dawet Jabung yang dingin dan segar segera dilahap habis oleh para pemuda itu. Bahkan beberapa di antaranya sampai nambah, karena merasa belum terpuaskan rasa hausnya.
Dawet Jabung yang menjadi salah satu minuman khas masyarakat Ponorogo memang disajikan dalam sebuah mangkuk yang ukurannya terbilang relatif kecil.
Oleh masyarakat sekitar mangkuk ini disebut tuwung. Karena itulah seringkali para pembeli minuman ini harus nambah untuk mengusir dahaga dan rasa panas yang menyerang kerongkongan.
Musim kemarau seperti yang tengah melanda saat ini bisa dibilang sebagai musim panen bagi para penjual dawet Jabung.
Sebab dengan kondisi cuaca yang sangat panas, hal itu tentu akan mendorong setiap orang untuk mampir guna melepas dahaga.
Seperti yang terlihat siang itu, hampir seluruh warung dawet yang ada di perempatan jalan desa itu penuh sesak dengan para pembeli. Tak terkecuali warung yang dijaga oleh Rahayu.
Warung dawet Jabung memiliki ciri khas tersendiri |
Dari pengamatan penulis yang kebetulan berada di dalam warung tersebut, warung yang dijaga gadis cantik asal kota Blitar ini terbilang paling ramai.
Para pengunjung yang sebagian besar laki-laki datang silih berganti mengisi bangku-bangku panjang yang disediakan.
Gadis-gadis cantik sebagai penyaji memang menjadi salah satu ciri khas warung dawet Jabung, yang sepertinya sengaja dijadikan senjata andalan untuk menarik pembeli sebanyak-banyaknya.
Namun demikian, keberadaan gadis-gadis cantik tersebut tak sepenuhnya dijadikan sebagai media untuk menarik pembeli.
Sebab di balik itu ternyata ada tradisi tersendiri yang melatarbelakangi penggunaan gadis-gadis cantik sebagai penyaji es dawet Jabung.
Konon hal ini terkait dengan upaya pencarian jodoh. Di mana dengan menjadi penyaji dawet Jabung, diharapkan si gadis akan bisa menemukan jodohnya, yang tentunya dari kalangan para pembeli yang datang ke warungnya.
Karenanya masuk akal sekali kalau kebanyakan para pengunjung warung dawet Jabung adalah para laki-laki.
Dan jangan heran kalau kita tidak menemukan penjual dawet Jabung yang sudah tua, apalagi laki-laki.
Karena terkait dengan tujuan itu pula, cara penyajian dawet Jabung terbilang sangat unik. Selain menggunakan mangkuk yang berukuran kecil, si penjual menyajikannya dengan menggunakan sebuah piring kecil sebagai alas mangkuk itu, yang biasa disebut lepek.
Hanya saja lepek ini tidak diberikan bersamaan dengan mangkuk tadi. Jadi para pembeli hanya diperbolehkan mengambil mangkuknya tanpa lepek di bawahnya.
Tak jarang terjadi pemandangan para pembeli meraih mangkuk beserta lepeknya, sehingga tak ayal terjadi tarik menarik antara si penjual dengan si pembeli.
Karena itulah si penjual tak boleh bosan untuk menjelaskan bahwa yang diambil hanya mangkuknya saja. Karena piring kecil itu hanya sebagai pengganti nampan yang tidak disertakan dalam penyajian.
“Lepeknya cuma satu, makanya harus saya ambil lagi. Soalnya kalau diikutkan, saya bingung nyari lagi,” ucap Rahayu sambil tersenyum.
Sepintas alasan itu cukup masuk akal, tapi kalau ditelaah lebih jauh, jelas terlihat kalau itu hanya alasan yang dibuat-buat untuk menutupi sesuatu yang sengaja dirahasiakan.
Karena bagaimanapun mencari piring sejenis untuk tatakan mangkuk itu jelas bukan pekerjaan sulit. Jadi sangat aneh kalau si penjual itu mengaku tidak memiliki lepek lain sebagai gantinya.
Tapi memang itulah kenyataan yang membuat dawet Jabung berbeda dengan dawet yang lain. Gadis cantik, mangkuk kecil dan lepek satu untuk bersama memang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Mengenai bahan baku dawet itu sendiri, juga sedikit berbeda.
Kalau pada umumnya dawet dibuat dari tepung beras, tidak demikian halnya dengan dawet Jabung yang menggunakan pati dari pohon aren.
Selain itu gula yang dipakai bukan gula Jawa atau gula pasir yang seperti dipakai pada minuman dawet yang lain. Dawet Jabung menggunakan air nira kelapa atau yang biasa disebut legen sebagai pemanisnya. Sehingga rasa yang dihasilkan sangat istimewa.
Gagang pengaduk dawet berbentuk wayang Arjuna |
Hal lain yang juga tidak bisa dilepaskan dari dawet Jabung adalah bentuk gagang pengaduk dawet dihias dengan ukiran kayu berbentuk tokoh wayang Arjuna.
Lalu satu bahan campuran lagi yang selalu ada adalah air larutan garam, yang diberikan untuk menambah rasa gurih pada minuman yang disajikan.
Khusus untuk air garam, dari bahan yang satu inilah munculnya pandangan bahwa warung dawet Jabung adalah tempat untuk mencari jodoh bagi para penyajinya.
Sebab dalam budaya masyarakat Jawa ada pandangan yang menyatakan bahwa bila seorang gadis menyajikan makanan atau minuman dengan rasa yang terbilang asin, bisa dikatakan kalau yang bersangkutan memang sudah siap dan ingin segera menikah.
“Garam itu untuk mengetahui apakah si penjual lagi nyari jodoh atau nggak. Kalau dawet yang disajikan rasanya enak atau biasa saja, berarti dia tidak sedang nyari jodoh. Tapi kalau dawet itu rasanya sangat asin, berarti bisa dipastikan kalau dia memang sedang nyari. Dan orang yang kebetulan mendapatkan dawet yang asin tadi adalah orang yang disukai oleh si penjual. Makanya kalau orang itu memang berminat, maka sudah pasti si penjual itu akan mau diperistri olehnya,” terang Sutini, salah seorang warga Desa Jabung yang sebagian halaman rumahnya digunakan sebagai warung dawet Jabung.
Wajah rupawan menjadi modal bagi penjual dawet Jabung untuk menarik pembeli |
Sutini juga menambahkan, bahwa rasa asin itu muncul karena biasanya si penjual terlalu banyak memberikan air garam ke dalam mangkuk dawet.
Dan ini terjadi karena ada perasaan tertentu dalam hati si penjual yang membuatnya agak gugup atau grogi. Sehingga terkadang lupa berapa takaran air garam yang harus diberikan pada dawet yang disajikan itu.
Karena itulah, bila saat menyajikan si pembeli tersebut meraih mangkuk bersama piring penyajinya, maka si penjual biasanya akan memberikannya.
Namun dalam perkembangannya, dawet Jabung sempat diberi cap buruk. Sebab tradisi pencarian jodoh yang melekat di dalamnya, disalahgunakan dengan menyusupi praktek-praktek prostitusi.
Tindakan si penjual yang memberikan mangkuk beserta piring penyajinya sekaligus, dijadikan pertanda bahwa si penjual bisa diajak kencan oleh si pembeli tersebut.
Dan hal ini konon masih ada di beberapa warung penjual dawet Jabung yang banyak bertebaran di seluruh pelosok Kabupaten Ponorogo. //Rad