Bukannya meringankan beban rakyat yang sedang terpuruk karena pandemi Covid-19. Pemerintah justru membebani rakyat dengan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan
Ya, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo telah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Hal itu tertuang dalam Perpres no 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan..
Dalam Perpres tersebut, disebutkan jika Iuran BPJS Kesehatan Kelas I naik menjadi Rp. 150 ribu Kelas II naik menjadi Rp. 100 ribu dan Kelas III menjadi Rp. 35 ribu. Dan kenaikan ini akan berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.
Beragam reaksipun langsung bermunculan menanggapi keputusan pemerintah ini. Yang rata-rata sangat menyesalkan sikap pemerintah, karena dianggap tidak peduli dengan kondisi rakyatnya.
"Ini keputusan yang benar-benar konyol. Bukannya membantu masyarakat yang sedang terpuruk, pemerintah justru malah menambah beban hidup mereka dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal ini berarti pemerintah melanggar aturan bahwa kesehatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebab dengan menaikkan iuran BPJS itu, berarti pemerintah semakin membebani masyarakat. Harusnya di tengah kondisi saat ini, jangan pernah ada kenaikan-kenaikan apapun. Justru harusnya pemerintah menurunkan beban iuran itu. Karena pada bulan Juli nanti kita semua belum tahu, apakah wabah ini sudah selesai atau belum," ujar Ketua Lembaga Penyelamat Aset dan Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia (LAPAAN RI), BRM Kusumo Putro SH, MH.
BRM. Kusumo Putro SH MH |
"Kita tahu bahwa akibat wabah ini banyak pegawai yang di-PHK. Jangankan untuk bayar BPJS, untuk makan saja saat ini masyarakat sudah kerepotan. Apalagi BPJS itu berbeda dengan asuransi umum. Kalau asuransi jiwa yang lain, kita masih bisa mendapatkan cash back, bila tidak melakukan klaim sama sekali selama sekian waktu. Lha kalau BPJS, begitu kita daftar, maka sampai mati kita harus bayar tanpa ada insentif berupa cash back," lanjut pria yang juga seorang lawyer ini.
Yang juga menjadi sorotan dari tokoh pemuda Kota Solo ini adalah pelayanan yang belum maksimal dari BPJS. Sehingga tidak pantas kalau kemudian justru malah menaikkan iuran. Tanpa mengimbangi dengan pelayanan yang baik.
"Harusnya BPJS itu melakukan evaluasi dulu terkait pelayanan yang mereka berikan. Yang sejauh ini jauh dari kata memuaskan. Kita ikut BPJS ith seperti masuk dalam jebakan. Kita tidak pernah tahu secara detail hak-hak klaim kita. Tapi tiap bulan harus bayar dan tidak bisa berhenti. Bahkan kalau tidak membayar, akan dikenakan sanksi-sanksi terkait akses pelayanan publik," tambah anggota PERADI Kota Surakarta ini.
Karena itulah, pria yang sedang menyelesaikan program doktoral ilmu hukum di Unisula Semarang ini, mensesak agar DPR menolak kenaikan iuran itu. Sebab sebagai representaai kedaulatan rakyat, sudah sewajarnya kalau DPR ikut peduli dengan nasib rakyat yang sedang terpuruk.
"DPR jangan aeperti sapi ompong yang hanya manut saja dengan keputusan pemerintah. Para wakil rakyat itu harusnya ikut bersuara keras untuk menolak kebijakan ini. Jangan sampai rakyat ini dijadikan ajang bisnis oleh pemerintah, dengan terus mengeruk keuntungan dari rakyat. Pemerintah tidak sepantasnya hitung-hitungan dengan rakyat. Karena bagaimanapun sudah jadi kewajiban pemerintah untuk melindungi rakyatnya," tegas pria yang kerap menggelar aksi sosial ini.
Dengan keputusan ini, Kusumo juga melihat bahwa pemerintah tidak menghargai putusan Mahkamah Agung (MA). Yang sebelumnya membatalkan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan. Padahal putusan MA yang menganulir Perpres no 75 tahun 2020 lalu, bagai oase di tengah gurun pasir. Yang mampu memberikan sedikit kebahagiaan di tengah keterpurukan.
"Dengan Perpres yang baru ini, praktis putusan MA hanya berlaku 3 bulan yaitu April, Mei dan Juni 2020. Setelah itu peserta kelas I naik lagi jadi Rp150 ribu per orang per bulan dan kelas II menjadi Rp100 ribu, sementara kelas III baru akan naik pada 2021 dengan dikuranginya subsidi dari pemerintah," bebernya.
Sebagai gambaran, bahwa saat ini besaran iuran BPJS Kesehatan mengacu pada Pepres no 82 tahun 2018. Di mana besarnya iuran adalah untuk kelas I sebesar Rp. 80 ribu. Lalu kelas II Rp. 51 ribu dan kelas III Rp. 25.500.
Tapi pada April 2020 lalu pemerintah mengeluarkan Perpres no 75/2020 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Di mana ada kenaikan jumlah iuran, kelas I menjadi Rp. 160 ribu, kelas II jadi Rp 110 ribu dan kelas III jadi 42 ribu.
Perpres ini lantas dibatalkan melalui putusan MA, karena dipandang tidak seharusnya dikeluarkan di tengah kondisi pandemi. Sehingga tarif iuran kembali ke skema awal sesuai Perpres no 82/2018.
Namun sayangnya, baru sekitar satu bulan berjalan, pemerintah mengeluarkan perpres lagi yang mengatur kenaikan jumlah iuran BPJS Kesehatan. Di mana dalam Perpres no 64/2020 ini tarif baru yang ditentukan pemerintah adalah. Kelas 1 jadi Rp. 150 ribu, atau turun 10 ribu dari kenaikan awal. Lalu kelas II jadi Rp. 100 ribu, yang berarti juga turun Rp 10 ribu dari kenaikan sebelumnya. Sedangkan kelas III tidak naik.
Ironisnya lagi, di tengah polemik kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan ini pemerintah justru menggelontorkan dana besar untuk membiayai BUMN. Padahal harusnya di tengah kondisi saat ini, kesehatan dan keselamatan rakyat menjasi prioritas utama.
"Seperti yang disampaikan Ketua Badan anggaran DPR, Said Abdullah, pemerintah akan menyuntikkan dana Rp 57,92 triliun kepada BUMN. Nilai tersebut terdiri dari penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 25,27 triliun dan talangan sebesar Rp 32,65 triliun. Hal ini jelas-jelas mencederai rasa keadilan. Sebab di satu sisi rakyat ditekan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Tapi di sisi lain, pemerintah justru memanjakan BUMN. Yang menurut saya belum terlalu mendesak kebutuhannya," pungkasnya. //sik