POPULER

267 Tahun Perjanjian Giyanti di Tengah Ancaman Persatuan dan Kesatuan Bangsa

267 Tahun Perjanjian Giyanti di Tengah Ancaman Persatuan dan Kesatuan Bangsa

WARTAJOGLO, Karanganyar - Hari ini Minggu (13/2/2022) tepat 267 tahun peristiwa perjanjian Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta.

Peristiwa itu menjadi puncak dari serangkaian konflik yang terjadi di internal Kerajaan Mataram. Dan dimanfaatkan oleh VOC untuk memecah belah Mataram.

Perjanjian Giyanti sendiri terjadi pada 13 Februari 1755, di mana terjadi kesepakatan antara Raja Mataram Sinuhun Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi pamannya, untuk membagi wilayah Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta.

Monumen perjanjian Giyanti di Karanganyar

Perjanjian itu dilakukan di sebuah tempat yang berada di wilayah Desa Jantiharjo, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Dua batang pohon beringin berusia ratusan tahun dan tidak bisa menyatu cabang-cabangnya, menjadi penanda monumen Perjanjian Giyanti.

Pembagian wilayah dalam Perjanjian Giyanti dilakukan setelah sebelumnya terjadi konflik berkepanjangan antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Prabasuyasa (Pakubuwono II), karena perebutan tahta.


Konflik keluarga ini semakin panas karena keterlibatan pihak VOC di dalamnya. Termasuk saat Pakubuwono II wafat, dan Pangeran Mangkubumi memproklamirkan diri sebagai Pakubuwono III, di mana ternyata VOC tidak merestui.

VOC justru mengangkat putra Pakubuwono II Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwono III, sehingga konflik bersaudara itu semakin memanas.

Hingga akhirnya VOC mencoba menengahi dengan menawarkan perjanjian damai, dengan membagi wilayah kerajaan Mataram.


Pangeran Mangkubumi mendapatkan wilayah Yogyakarta dan mengangkat diri sebagai sultan dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Sedangkan Pakubuwono III menguasai wilayah Surakarta dan bertahta di Keraton Surakarta Hadiningrat.

"Perjanjian Giyanti adalah peristiwa yang tragis bagi Mataram Islam. Di mana kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senopati ini akhirnya harus terbelah menjadi dua, yakni Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat," ujar pemerhati sejarah dan budaya asal Kota Solo, R. Surodjo saat dihubungi pada Minggu (13/2/2022).

Dalam peristiwa yang juga dikenal dengan istilah Paliyan Nagari itu sendiri, Keraton Surakarta disebut belum bisa mengakui sepenuhnya secara hati.


Sebab dengan pembagian wilayah itu, otomatis wilayah kekuasaan Keraton Surakarta harus berkurang.

Apalagi setahun kemudian terjadi pembagian wilayah lagi antara Surakarta dengan Pangeran Samber Nyawa yang kemudian mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.

"Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari peristiwa ini, bahwa sebuah keluarga apabila tidak bersatu, maka akan sangat mudah untuk dipecah belah oleh pihak lain," tandas salah satu pengurus di Forum Budaya Mataram ini.

Karena itulah Surodjo menyebut bahwa peristiwa Perjanjian Giyanti bisa dijadikan cermin bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan.

"Bangsa Indonesia terdiri dari beragam adat, budaya, dan agama. Sehingga saat kita tidak bisa menjaga persatuan, maka akan dengan mudah dipecah belah dan menghancurkan bangsa ini," lanjutnya.

Untuk itulah, melalui momentum peringatan Perjanjian Giyanti ini, Surodjo menekankan agar kita selalu menjaga dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Tujuannya tentu agar bangsa ini tetap utuh dan kuat.

Terlebih saat ini serangkaian gejolak terjadi di masyarakat, dan banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan pribadi.

"Persatuan dan kesatuan adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi, agar Bangsa Indonesia bisa tetap berjaya," pungkas Surodjo. //Rad

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close