POPULER

Mengenang 65 Tahun Ki Hajar Dewantara, Sosok Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Sejati hingga Tak Ada Jalan yang Menggunakan Namanya

Mengenang 65 Tahun Ki Hajar Dewantara, Sosok Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Sejati hingga Tak Ada Jalan yang Menggunakan Namanya

WARTAJOGLO - Pada tanggal 26 April 1959, Indonesia kehilangan salah satu tokoh pendidikan terbesarnya, Ki Hajar Dewantara. 

Kehilangan ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga oleh dunia pendidikan internasional. 

Ki Hajar Dewantara, yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, adalah pionir dalam bidang pendidikan di Indonesia dan sosok yang memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan identitas bangsa.

Kehidupan Ki Hajar Dewantara penuh dengan perjuangan dan dedikasi untuk memajukan pendidikan di Indonesia. 

Lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta, ia tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai kebangsaan dan kecintaan pada ilmu pengetahuan. 

Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya

Pendidikan formalnya dimulai di sekolah ELS (Europeesche Lagere School) di Yogyakarta, tetapi pengalaman hidupnya yang paling berharga datang dari perjalanan dan pengembaraannya di luar negeri.

Di Eropa, Ki Hajar Dewantara belajar tentang sistem pendidikan Barat dan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran progresif pada masanya. 

Ia melihat pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan kemiskinan. 

Setelah kembali ke Indonesia, Ki Hajar Dewantara memulai perjuangan besar dalam membentuk visi pendidikan nasional yang inklusif dan progresif.

Salah satu kontribusi terbesarnya adalah pendirian Taman Siswa pada tahun 1922, sebuah gerakan pendidikan yang mengusung prinsip-prinsip kebebasan belajar, kemandirian, dan keadilan sosial. 

Melalui Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara berupaya memberikan akses pendidikan kepada semua lapisan masyarakat, termasuk yang kurang mampu dan terpinggirkan.

Namun, perjuangan Ki Hajar Dewantara tidak selalu berjalan mulus. Ia sering menghadapi tantangan dari pihak kolonial Belanda yang cenderung membatasi akses pendidikan bagi masyarakat pribumi. 

Meskipun demikian, keteguhan dan semangatnya tidak pernah luntur. Ia terus berjuang untuk hak-hak pendidikan rakyat Indonesia.

Pada akhir hayatnya, Ki Hajar Dewantara meninggalkan warisan yang tak ternilai dalam bentuk gagasan-gagasan tentang pendidikan yang merangkul keberagaman, mempromosikan keadilan, dan menumbuhkan semangat kemandirian.

Peran besar dari Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa inipun lantas mengantarkan hari kelahirannya pada 2 Mei 1889, diakui sebagai Hari Pendidikan Nasional. 

Bahkan tak hanya masyarakat Indonesia yang memberikan penghargaan istimewa kepada tokoh yang satu ini, Pemerintah Belanda pun sempat mengajukan permohonan agar nama Ki Hajar Dewantara diijinkan untuk dipakai sebagai nama salah satu jalan di sana. 

Namun karena sesuai dengan pesan yang diterima keluarga sebelum sang tokoh meninggal, agar namanya jangan dikultuskan. Maka permohonan itupun ditolak. Bahkan jangankan di Belanda, di Indonesia sendiripun nama jalan Ki Hajar Dewantara tidak pernah ada.

Ki Hajar Dewantara memang benar-benar ingin menjadi pahlawan tanda jasa sejati yang tak perlu dikultuskan. 

Karena baginya yang terpenting adalah bagaimana peran seorang guru dalam memberikan pengajaran. Bukan tanda jasanya. Dan menanamkan kesadaran untuk merebut kemerdekaan, adalah misi yang harus segera diwujudkan.

Untuk itulah, dalam pendirian sekolah Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara menerapkan sebuah prinsip yang disebut dengan patrap triloka. Yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani. 

Yang secara bahasa, pedoman ini memiliki arti bahwa di depan, seorang guru harus bisa menjadi contoh atau teladan. Lalu dalam posisinya di tengah bersama murid, guru harus bisa membangkitkan semangat serta kemauan. Sedangkan di belakang, seorang guru harus bisa selalu memberi dukungan atau dorongan.

Dengan prinsip-prinsip inilah, sistem pendidikan yang diterapkan oleh sekolah Taman Siswa cukup berhasil untuk membangun kesadaran para siswa untuk maju. 

Sehingga kemudian prinsip tersebut diadopsi oleh pemerintah Indonesia, sebagai prinsip dasar pengembangan pendidikan pasca kemerdekaan.

Meski Taman Siswa dipandang sebagai tonggak pemerataan pendidikan bagi rakyat Indonesia saat itu. Namun bukan berarti bahwa di pendidikan tidak pernah ada di Indonesia sebelum berdirinya Taman Siswa. 

Sebab selain pendidikan yang dibedakan berdasarkan kelas. Yang mana hanya bisa dinikmati oleh golongan masyarakat kelas atas seperti bangsawan, konglomerat atau keturunan asing, masyarakat kelas bawah juga sudah merasakan meski sangat terbatas. Yang saat itu lebih banyak berbasis pada aspek keagamaan seperti di pondok pesantren.

Pendidikan di pesantren memang tidak terlalu diawasi ketat oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena dalam sistem pendidikan di sini, rakyat tidak terlalu banyak mendapat pengetahuan yang mengarah pada pergerakan-pergerakan politik. Sehingga situasi yang terjadi juga relative tenang.

Aspek kepentingan agama memang tidak bisa dipungkiri sebagai salah satu penggerak perkembangan pendidikan di masyarakat. 

Sebagai upaya penyebaran sebuah ajaran agama, maka lembaga-lembaga pendidikan mulai bermunculan. Di mana di dalamnya mengajarkan bagaimana cara baca tulis, agar bisa memahami sebuah ajaran agama yang sedang dikembangkan.

Dan tak hanya Islam yang melakukannya lewat pesantren-pesantren, bangsa Eropa yang datang ke Indonesia juga melakukannya pada abad ke-16. 

Di awal kedatangan bangsa Eropa dalam hal ini Portugis, hal pertama yang dilakukannya adalah mendirikan sekolah yang tujuannya mengajarkan rakyat agar bisa baca tulis. Yang kemudian orientasinya agar mereka bisa dengan mudah memahami ajaran-ajaran agama Katolik yang saat itu dibawa oleh para penjelajah Portugis.

Hal yang sama selanjutnya juga dilakukan oleh Belanda yang selain membawa misi ekonomi untuk menguasai hasil bumi Indonesia, juga membawa misi penyebaran agama Protestan. 

Beberapa sekolah juga didirikan oleh Belanda. Yang tentu diikuti dengan pembatasan hak untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga hanya beberapa kelompok masyarakat saja yang bisa mengenyam pendidikan, termasuk yang mau memeluk agama Kristen.

Namun bukan berarti dalam pendidikan yang diterapkan tidak diajarkan pengetahuan umum. 

Beberapa ilmu pengetahuan juga diajarkan sebagai bagian dari kurikulum yang ada. Yang kemudian berdampak pada terbukanya wawasan beberapa orang Indonesia, untuk selanjutnya memilih jalur pergerakan. 

Banyak tokoh yang kemudian sadar bahwa telah terjadi pembodohan demi kepentingan kekuasaan. Sehingga kemudian beberapa di antaranya memilih jalur pergerakan.

Berbekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, mereka mulai membentuk kelompok-kelompok sebagai bagian dari upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Sampai akhirnya perjuangan itupun membawa hasil berupa proklamasi kemerdekaan. Yang juga ditandai dengan semakin banyaknya berdiri lembaga-lembaga pendidikan seperti Taman Siswa. Serta semakin meratanya penyebaran pendidikan di masyarakat. //Bang

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close