![]() |
Barisan abdi dalem yang mengusung jodang berisi tumpeng sewu memasuki halaman Masjid Agung Keraton Surakarta Hadiningrat |
WARTAJOGLO, Solo - Keraton Surakarta Hadiningrat kembali menggelar tradisi kirab malam selikuran pada Kamis 20 Maret 2025.
Kirab malam selikuran merupakan sebuah ritual sakral untuk menyambut malam Lailatul Qadar yang diyakini sebagai malam seribu bulan.
Dualisme di tubuh Keraton Surakarta Hadiningrat membuat tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad tersebut digelar dalam dua sesi kirab.
Kirab pertama dipimpin langsung oleh Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII, yang membawa rombongan dari keraton menuju Taman Sriwedari.
Sementara itu, kirab kedua dipimpin oleh Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta Hadiningrat, GKR Wandansari, atau yang akrab disapa Gusti Moeng.
Rombongan kedua ini mengambil rute mengelilingi Baluwarti sebelum akhirnya menuju Masjid Agung Keraton Surakarta.
KP Eddy S Wirabhumi, salah satu kerabat dalem Keraton Surakarta Hadiningrat, menjelaskan bahwa kedua sesi kirab ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi.
"Masing-masing punya dasar dalam penentuan rute kirab. Dari pihak LDA berpegang teguh pada akar sejarah, di mana kirab ini dulunya memang dilakukan dari keraton menuju Masjid Agung. Sementara rute yang diambil rombongan Sinuhun didasarkan pada pengembangan yang dilakukan oleh mendiang Sinuhun Paku Buwono X, untuk memberikan hiburan kepada warga," jelasnya.
![]() |
KP Eddy S Wirabhumi |
Hal senada juga disampaikan Gusti Moeng bahwa tradisi kirab malam selikuran yang telah dilakukan sejak awal berdirinya Keraton Surakarta, dilakukan menuju masjid.
"Sejak dulu, kirab ini memang dilakukan menuju masjid. Namun, setelah Sinuhun Paku Buwono X membangun Kebon Rojo (Taman Sriwedari), sebagian rombongan kirab dibawa menuju ke Taman Sriwedari," ujarnya.
Meskipun ada perubahan rute, Gusti Moeng menyebut bahwa Sinuhun PB X tidak menghilangkan rute kirab dari keraton ke Masjid Agung. Sebab esensi dari malam selikuran tetap bersifat spiritual.
"Kirab yang menuju masjid tetap ada karena malam selikuran adalah tradisi yang bersifat spiritual. Jadi, tentu tidak lepas dari masjid sebagai tempat ibadah," jelasnya.
Gusti Moeng juga menjelaskan alasan di balik keputusan Sinuhun PB X untuk menggelar kirab menuju Taman Sriwedari.
"Tujuannya saat itu adalah agar warga Kota Solo bisa ikut merayakan. Sebab malam selikuran ini merupakan malam yang istimewa, karena dipercaya sebagai malam Lailatul Qadar," ungkapnya.
Selain itu, penyelenggaraan kirab menuju Taman Sriwedari juga tidak lepas dari dukungan Pemerintah Kota Surakarta.
"Taman Sriwedari sekarang dikelola oleh Pemkot Surakarta. Jadi, untuk penyelenggaraan kirab menuju Taman Sriwedari, pihak Sinuhun juga disokong dana dari Pemkot," lanjut Gusti Moeng.
Kirab malam selikuran sendiri terdiri dari barisan prajurit yang memainkan alat musik di bagian depan, diikuti oleh prajurit yang mengusung panji-panji kerajaan.
Di belakangnya, ada abdi dalem yang mengusung lampu ting serta lampion berbentuk bulan dan bintang, simbol dari gemerlap bintang dan bulan di langit yang menghiasi malam Lailatul Qadar.
Rombongan selanjutnya adalah abdi dalem yang mengusung jodang berisi ribuan tumpeng berukuran kecil, yang disebut tumpeng sewu.
Dua Rute dalam Kirab Malam Selikuran, KP Eddy Wirabhumi: Semua Ada Dasar Sejarahnya https://t.co/k0oBD512cn
— 🇼🇦🇷🇹🇦🇯🇴🇬🇱🇴 (@wartajoglo) March 21, 2025
Tumpeng-tumpeng ini kemudian dibawa ke masjid untuk didoakan bersama, sebelum akhirnya dibagikan kepada seluruh abdi dalem dan warga yang hadir menyaksikan acara kirab.
Gusti Moeng menegaskan bahwa adanya dua kelompok yang menggelar kirab malam selikuran tidak perlu dipermasalahkan.
"Yang terpenting adalah tujuan dari kegiatan ini, yaitu panjatan doa kepada Yang Maha Kuasa agar selalu dilimpahi berkah di sepanjang bulan Ramadan," pungkasnya. //Bang